Setelah berhari-hari kuendapkan masalah yang menghantuiku siang dan malam, akhirnya, kuberanikan diri untuk mencuatkannya ke permukaan dengan berbicara kepada Ibuku dari hati ke hati. Ibuku yang memang sudah lama ingin tau kabar dari pekerjaan baruku, mulai mengusik-bisik dengan menanyakan keadaanku.
“Gimana, Dhef, sebenarnya kerjaanmu itu ngapain aja, sih? Di gedung tertinggi Jakarta itu,” tegur Ibuku, saat aku sedang menyeduh secangkir coklat panas.
“Dhefin sebenarnya malu, Bu, kalo ngomong sama Ibu, takut Ibu sedih,” jawabku dengan suara lirih.
“Sedih kenapa, kan, justru Ibu senang karena kamu sudah dapat pekerjaan!” ujar Ibuku.
“Iya, Dhefin belum bisa bekerja, kalo belum lulus dalam ujian terakhir pelatihan disana Bu, Dhefin diharuskan mencari dana investor, untuk nantinya bisa Dhefin kelola sebagai Financial Advisor, di lantai bursa komoditas berjangka,” sahutku menerangkan kepada Ibu, dengan kata-kata yang mudah dipahami.
“Owalah, orang nyari kerja buat dapat uang, kok, malah suruh nyari uang, toh, piye,” kata Ibuku yang mulai menggerutu dengan bahasa jawanya.
“Dhefin ada pikiran buat pinjam dulu sama Mr. Jaap majikan Ibu, gimana menurut Ibu?” gumamku yang sedikit berapi-api untuk mendengar jawaban dari Ibu.
“Kan Ibu udah bilang Dhef, bahwa Mr. Jaap udah mau hengkang dari Indonesia, dan Ibu juga gak enak kalo memberatkan beliau di akhir masa tugasnya, Mr. Jaap itu orangnya baik, dan Ibu gak mau kalo akibat kamu salah kelola uang Dia, berakibat rusaknya hubungan Ibu sama Mr. Jaap,” sahut Ibuku.
“Memang dana yang dibutuhkan untuk investasi itu berapa sih Dhef,” tanya Ibuku.
“Eee … Sekitar 250.000 Yen, atau Rp21.000.000, nanti Dhefin bisa menjanjikan komisinya sekitar tiga persen perbulan,” jawabku terbata-bata sambil berharap persetujuan dari mulut Ibuku.
“Ya udah, gini aja, Ibu gak bisa bantu apa-apa selain doa yang terbaik kepada Allah sambil terus berusaha, mungkin nanti Ibu bicarakan lagi sama Ayah tentang masalah ini, mudah-mudahan ada titik terang yang bisa membuat kamu diterima di perusahaan itu, gak usah galau yah,” kata-kata terakhir Ibu dalam perbincangan ini, membuatku sedikit lega.
Akhirnya aku bisa melepaskan segala keresahan yang melanda jiwaku, beberapa hari belakangan ini, meskipun harus kulalui dengan drama yang tidak gampang untuk menahan aroma kesedihan, jika harus berbicara dengan orang tuaku.
***
Sambil menunggu keputusan dari orang tuaku, aku mulai mengurai kembali benang kusut penulisan skripsi yang sempat terlupakan. Aku mendapat kabar bahwa Alman kawanku si paling jenius, kini sudah bekerja dan mempunyai kedudukan di sebuah Software House di Jakarta Selatan. “Gimana kabar dia sekarang yah?” bisikku dalam hati.
Alman memang sosok yang paling pintar dan multitalenta di antara kami. Bagaimana tidak jenius?! Dia berhasil menamatkan pendidikan S-1 nya dalam waktu tiga tahun, dan juga langsung bekerja dengan membangun suatu tim “IT” yang solid, dalam perusahaan yang dia pimpin. Selain itu, dia selalu aktif dalam organisasi kampus seperti pecinta alam, serta mempunyai bakat kesenian yang tinggi, dengan menjadi vokalis band yang pernah aku lihat penampilannya di panggung kampus saat Dies Natalis.