Bergumul dengan bantal dan guling, merupakan suatu hal wajib yang harus ada dalam To Do Listku di setiap pagi weekend ini. Saat aku bermalas-malasan di tempat tidur layaknya Koala, tiba-tiba ada jilatan dari lidah kasar kucing kesayanganku ‘Lulu’ mendarat di pipi ini. Sebenarnya, dia bukan sekedar kucing biasa. Tapi, mempunyai status ‘Majikan’. Karena aku bekerja untuk menyediakan segala kebutuhannya, seperti makan, minum, bahkan pekerjaan kotorpun aku lakukan deminya. Padahal, aku tidak pernah mendapatkan upah dari pekerjaanku ini. Tapi, aku dengan ikhlas melakoninya. Sebab, aku mendapatkan barter darinya, berupa kemanjaan, kelucuan, dan semua hal yang dapat membuatku sejenak melupakan penatnya dunia.
Pipip, piri-pipip. Notifikasi dari Command Center di ponselku, memberi tanda peringatan suatu hal yang penting akan terjadi. Ternyata, isinya adalah sebuah pesan singkat dari Ranger Hijau, yaitu Alman, menyuruhku datang ke Markas yang tidak lain adalah kosan-nya untuk melanjutkan rencana penyusunan skripsiku yang terbengkalai. Huh, mager rasanya tubuh ini beranjak dari dipan yang telah membuatku mengarungi alam mimpi. Tapi, jika tidak dipaksakan, aku tidak akan pernah mendapatkan impianku terwujud. Baiklah, sebaiknya segera ku bangkit untuk bersiap.
***
Asap hitam membumbung ke angkasa dari celah lubang kecil, saat aku turun dari Bus Patas. Tidak heran, karena rongsokan besi berjalan itu sudah renta digilas zaman. Di sini, di depan gedung STMIK Jamantara, aku kembali masuk ke dalam lorong waktu, dan melihat penampakan dari keceriaan Aku, Dwi, Alman, Nisa, Dini, Ane, Wati, Hans, Heru, Ahmad, Hadi, dan Sari. Kami berjalan menyusuri jalan menuju Kampus yang sedikit menanjak. Di sebelah kanan jalan waktu itu masih ada warung makan “Pecel Lele” yang biasa kami sambangi, jika perut ini mengeluarkan suara auman macan yang kelaparan. Tapi kini, warung itu sudah lenyap, terganti oleh Gedung Apartemen yang menjulang tinggi menutupi sebagian sisi Gedung Kampus.
Tujuanku kemari bukan untuk bertemu Pak Badar, atau Bu Flo. Tapi untuk mengunjungi Alman. Kosannya berada di sudut depan gang, belakang tembok pagar Kampus. Meskipun berada di gang yang lebarnya hanya cukup untuk dilewati 1 Mobil Daihatsu Taft, tapi bangunan kos ini termasuk eksklusif. Dari luar aku melihat tembok bertekstur batu alam dengan pagar kayu berwarna hitam, kokoh membentengi bangunan 2 lantai di dalamnya.
Aku tidak tau pasti alasan Alman tetap bercokol di lingkungan dekat Kampus yang seharusnya dia bisa saja mencari Singgasananya di daerah Pasar Minggu dekat kantornya. Tapi, kurasa dia memang gak bisa jauh dari Kampus yang telah membesarkan namanya. Seorang Sarjana Komputer dengan predikat “Cum Laude” yang sering diundang pihak kampus sebagai pembicara dalam berbagai event Seminar Information Technology. Kini, dengan kerendahan hatinya, dia rela membantuku dengan ketinggian ilmunya.
Aku diperbolehkan masuk, setelah izin dengan Mami Kos yang ruangannya berada tepat di belakang pagar. Di parkiran, aku melihat Motor Honda Tiger GL-200S hitam kesayangan Alman, berjajar rapi dengan kendaraan lain. Kamar Alman ada di lantai atas, sedikit mengeluarkan peluh untuk menaiki tangga di ujung lorong. Tidak perlu kuketuk, pintu kamar Alman sudah menganga lebar, siap untuk dimasuki.
“Assalamu’alaikum, Wasap My Man, Gimana kabar Lo setelah Gue tinggalin selama 2 purnama, masih idup, kan!” salamku berlanjut dengan gurauan ringan.
“Wa’alaikumussalam, Sialan Lo! emang gue butuh Lo buat bertahan hidup, justru, Elo yang butuh gue buat selamat dari Mr. Baldy, ya, kan?” sambut Alman sejenak berdiri untuk menyambutku.
“Iye … iye, Gue sekarang rela bersimpuh di depan Suhu, untuk belajar Ilmu beladiri,” imbuhku yang turut turun untuk duduk di lembutnya karpet Persia, setelah dipersilakan duduk yang kutau dari Body Language Alman.