Senja merekah, membuka pintu gerbangnya untuk menyambut bulan dan bintang yang menggantikan pekerjaan matahari menghiasi langit dengan kilauan cahaya. Kakiku turun ke aspal dari mobil angkot yang kutumpangi, sebagai efek dari gaya gravitasi bumi. Langkahku kubuat lebar dan cepat menuju Masjid, mengejar azan magrib yang akan berkumandang beberapa menit lagi.
Saat menunggu, di dalam, dan selepas salat, tidak henti-hentinya lidah ini memuji nama Allah yang tidak berbilang; bersyukur atas curahan nikmat dan karunianya; memohon keselamatan dari keburukan.
“Ya, Allah, Ya, Mujib, Engkaulah yang maha mengabulkan doa, dan hari ini, aku telah melihat penampakan dari doaku itu. Maka, aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya nikmat dan berubahnya afiyat,” Lantunan doa yang kupanjatkan di waktu dan tempat terbaik.
***
Setelah selesai bercerita kepada Allah di rumah-Nya, aku bergegas pulang. Jarak antara Masjid ke rumahku tidak terlalu jauh, hanya seukuran panjang 30 busur panah. Saat tiba di depan pintu, kudorong perlahan dengan mengucap salam. Tapi, tidak ada yang membalasnya. Mungkin ibu sedang melakukan ritual salat magrib di kamarnya. Kulihat lampu kamarnya menyala di balik pintu yang sedikit terbuka. Benar saja, ibu sedang memakai mukena putih, bergerak turun untuk sujud di atas sajadahnya. Sambil kumenunggu ibu selesai salat, lebih baik aku ke dapur, untuk mengangkat tudung saji, menikmati harumnya aroma masakan ibu malam ini.
Masakan ibu memang yang paling wahid bagiku. Bukan hanya testimoni dari keluarga kecilku saja yang memberikan rating bintang lima. Tapi, kerabat dan tetangga sekitar juga sudah mengakui kepiawaian ibuku dalam menyajikan makanan. Ya, ibuku sudah terkenal layaknya seorang Chef di lingkungan masyarakat. Tidak hanya memasak, tapi juga dengan jiwa sosialnya yang tinggi, rela membagikan sajian khas berselera kepada saudara, maupun tetangga dekat rumah.
Dari balik tudung saji biru, sudah terlihat sebuah mangkuk berisi kuah hitam pekat, dengan potongan daging sapi sandung lamur, lengkap dengan topping irisan telur asin, tauge pendek, dan sambal terasi.
“Mmh … nyumy, Ibu tau aja, malam ini aku membawa kabar gembira untuknya, sudah agak lama ibu gak bikin soto rawon kesukaanku,” gumamku lirih, takut terdengar oleh ibu di kamar. Langsung saja kuhajar sup hitam itu, dengan 2 centong nasi yang mempesona, untuk aku masukkan ke dalam kantong perutku. Tak berselang lama, ibu mendatangiku saat sedang ganasnya mengoyak daging penuh lemak bermandikan bumbu keluwek itu.
“Eh, Cah lanang wis bali, tumben langsung makan, biasanya mandi dulu!” sapa ibu sambil menggeser kursi untuk duduk bersamaku.
“Iya, Bu, Dhefin udah gak tahan ‘Ngembat’ Soto Rawon yang dibiarin nganggur begitu aja di meja makan,” jawabku dengan sesekali mengunyah.
“Yaudah, dipuasin, yah, makannya, biar kamu tetap fit bekerja, ngomong-ngomong gimana kabar kerjaan kamu?” tanya ibu.
“Iya, Bu, sebenarnya Dhefin nyesel kerja disana,” imbuhku dengan ekspresi datar.
“Lho, emang kenapa, ada yang bully, atau kamu rugi?” seru ibu dengan segala cecaran pertanyaan, seperti wartawan yang sedang mengejar berita perselingkuhan artis.
“Bukan bully, Bu, tapi, bullish yang mengakibatkan harga naik, sehingga Dhefin dapat profit.” Ekspresiku yang datar berubah menjadi keriangan, sengaja kubuat akting di hadapan ibu, untuk melihat reaksinya.
“Wah, Alhamdulillah, ternyata ini adalah jawaban dari doa-doa Ibu, memang berapa jumlah yang kamu peroleh, Dhef?” Lengkingan keceriaan ibu, tidak dapat ditahan dari dalam kalbunya.
“Gak banyak, sih, Bu, cuma Rp850.000,” ujarku.
“Ibu gak lihat dari besar kecilnya penghasilan kamu, tapi, dari kegigihanmu untuk dapat sampai sejauh ini.” Lanjut ibu melunakkan hatiku.
“Makasih, ya, Bu, Dhefin bakal terus berusaha untuk memberikan yang lebih besar dari ini, Insyaallah,” kataku yang tidak terasa sudah menghabiskan 1 piring nasi dan soto rawon.