Sore itu, suasana di kantor mulai dipenuhi dengan hiruk-pikuk biasa menjelang penutupan sesi perdagangan. Aku duduk di depan layar monitor, menatap grafik harga yang terus berdenyut. Mata lelahku berusaha mencerna setiap pergerakan, meski fokus mulai terpecah antara keyakinan dan keraguan. Jam dinding di sudut ruangan berdetak, menunjukkan pukul 14:00—hanya satu jam lagi sebelum sesi perdagangan ditutup.
Tiba-tiba, hatiku berdegup lebih cepat saat melihat harga Red Bean bergerak sedikit naik. ¥23,850. "Haruskah Aku keluar sekarang?" batinku bertanya. Mataku tak lepas dari layar. Kenaikan ini sudah cukup kuat, tapi apa yang bisa aku harapkan dengan waktu yang semakin sedikit?
Di tengah-tengah keraguanku, suara bisikan Pak Rendi di belakang terdengar, menghantam pemikiranku yang sudah rapuh. "Jangan buru-buru, Pak Dhefin. Ini cuma awal. Tunggu sampai sepekan. Kalau harga benar-benar naik, Anda akan untung besar. Jangan lemah."
“Pak, harga sudah menyentuh ¥23,850. Mungkin ini saatnya jual sebelum harga turun lagi,” protesku melengking tinggi, tidak peduli dengan situasi sekitar.
“Tenang Pak Dhefin, lihat volume perdagangan. Ini belum puncaknya. Tunggu sampai ¥24,000 seperti yang saya bilang.”
Aku menelan ludah, dan berkata, “Semoga saja, Pak.” Rasanya ada yang salah, tapi kata-kata Pak Rendi terdengar begitu meyakinkan, seolah-olah dia sudah tau pasti apa yang akan terjadi. Sekali lagi, aku memutuskan untuk menunggu, meski seluruh tubuh berteriak agar segera keluar.
Ruang kantor ini terasa lebih sempit tiba-tiba. Cahaya dari luar jendela lantai 36 mulai meredup, mewarnai ruangan dengan semburat oranye samar. Aku menghela nafas panjang, mencoba menenangkan diri. Aku tak bisa mundur lagi. Hanya tinggal berharap bahwa keputusan ini adalah yang terbaik, meski ada firasat aneh yang menyusup perlahan.
***