Dilema hadir di dalam hati dan juga tempat ibadah ini, dia turun dengan membelah dada dan membilas jantungku saat aku masih tersadar. Menyisakan luka sayatan “Ketakutan”, dan bekas jahitannya tidak akan hilang seumur hidupku. Sungguh malang diri ini, berada dalam situasi kritis dari penyakit kronis yang menggerogoti jiwa.
Doa kafaratul majelis telah dikumandangkan oleh Uwais, pertanda bahwa kajian telah usai 30 menit setelah kami rukuk dan sujud bersama menunaikan salat Isya. Wajahku sendu, tapi kuberusaha tidak menampakkan muka masam di hadapan dua sahabatku ini.
Dalam perjalanan menuju pulang, aku dan Ridwan berjalan beriringan, langkah kami lambat menyusuri trotoar sepanjang jalur Shuttle Bus Kuning menuju Stasiun yang sudah tidak terlihat di gelapnya malam. Uwais sudah lebih dulu pulang ke asrama Mahasiswa Universitas Sora Indonesia, meninggalkan kami berdua tenggelam dalam percakapan.
Ridwan, dengan penuh semangat, memulai obrolan, "Jakarta sebentar lagi bakal tambah seru, Akh Fin. Pemilihan kepala daerah tahun depan pasti bikin ramai."
Aku menatap Ridwan sejenak, lalu menundukkan pandangan, tanda kurang tertarik. "Ana nggak terlalu ngikutin, Wan. Politik itu buat mereka yang punya kekuasaan, bukan buat orang kayak kita."
Ridwan tertawa kecil, sedikit takjub. "Masa Antum nggak peduli? Padahal tahun depan bisa jadi tahun penting buat Jakarta. Politik selalu punya dampak, Akh, apalagi buat ekonomi."
Aku hanya mengangkat bahu. "Ana paham kalau politik punya pengaruh, tapi buat Ana, terlalu banyak fokus ke situ malah bikin stres. Lagi pula, kita cuma rakyat biasa. Suara kita nggak banyak ngubah apa-apa. Ana lebih pilih fokus sama kerjaan dan masa depan yang bisa dikendalikan."
Ridwan berdehem, tidak setuju. "Tapi kalau kita nggak peduli, kita bakal jadi korban. Lihat aja sekarang, Jakarta ini nggak hanya soal politik, tapi soal hidup kita sehari-hari."
Aku menghela nafas panjang, menatap lurus ke depan. "Ana ngerti, Wan. Tapi, makin banyak kita terlibat, makin sulit keluar. Semua orang punya opini, tapi ujung-ujungnya sama aja. Ana lebih baik fokus di dunia yang bisa dikuasai—seperti trading, belajar ekonomi. Politik bisa bikin kepala pening, dan Ana nggak mau kejebak di situ."
Ridwan menatapku dengan bingung. "Jadi, Antum bakal diam aja? Gak ikut peduli soal siapa yang memimpin kota ini?"
Aku menggeleng pelan, senyumku tersungging kecil, "Bukan soal nggak peduli, cuma Ana memilih nggak ikut terlalu dalam. Politik bikin dunia kelihatan lebih rumit dari yang seharusnya."
Perbedaan pandangan itu tak menghentikan langkah kami, tapi membungkam percakapan sesaat. Tidak terasa di depan sudah ada rel membentang yang siap dilangkahi menuju ke gang “Kober”, tempat untuk memanjakan mata, dengan menoleh ke kiri dan kanan pinggiran jalan, sekedar untuk melihat kios-kios berisi tumpukan buku, ataupun kaset dan “Compact Disc” yang disukai oleh Mahasiswa Generasi Milenial. Kami terus berjalan di bawah lampu jalan yang tak henti memancar, hingga sampai terdengar suara klakson dan deru kendaraan di Jalan Margonda Raya.