Aku masih terduduk di ujung ranjang setelah menutup telepon dari Hans. Pikiranku berkecamuk, sulit untuk menerima kenyataan bahwa Alman, sahabat yang selama ini membantu dan mendukung langkahku, telah tiada. Suara dering alarm di ponsel yang mengingatkan untuk bersiap ke kantor tidak kuhiraukan. Aku menarik napas dalam-dalam, merasa berat bahkan hanya untuk berdiri.
Setelah beberapa menit terdiam, Aku mengambil ponsel lagi, kali ini untuk mengirim pesan ke kantor. Jari-jariku bergerak cepat di layar, mengetik pesan singkat, "Pak Rendi, saya izin tidak masuk hari ini. Ada urusan keluarga mendadak."
Setelah pesan terkirim, Aku merasa sedikit lega, meski berat di dada masih menekan. Aku lalu mencari kontak Hans di ponsel dan meneleponnya kembali.
"Halo, Fin," suara Hans terdengar dengan nada yang lebih tenang, meski masih jelas bahwa dia juga merasakan kehilangan yang sama.
“Hans, Gue nggak bisa ke kantor hari ini. Gue perlu pergi. Gue harus... ke Sukabumi. Mau ke rumah Alman,” suaraku terdengar lirih tapi tegas, “Lo sama anak-anak lain gimana? Kita bakal kesana bareng?”
Hans terdiam sejenak, kemudian berkata, "Iya, gue barusan ngobrol sama Wati. Dia udah nyiapin mobil, dan kita semua mau berangkat ke Sukabumi. Ada Gue, Wati, Ahmad, Heru, Dini, Hadi, dan Ane. Lo ikut, kan?"
Aku menarik napas panjang, menatap cermin di kamar. Wajahku terlihat lelah, seakan tidak cukup tidur selama berminggu-minggu. “Iya, Gue ikut. Kapan Lo jemput?”
“Gue kira kita bisa jalan bareng dari kediaman Wati. Kita rencanain berangkat jam sepuluh. Dia bisa nyetir, jadi kita tinggal kumpul di apartemen Dia. Lo bisa nyampe sana, kan, sebelum itu?”
Aku mengangguk pelan meski Hans tak bisa melihatnya. "Bisa, gue bakal siap-siap sekarang."
Setelah panggilan berakhir, Aku merasa sedikit lebih baik. Setidaknya, Aku tidak akan menghadapi kesedihan ini sendirian. Teman-teman—Hans, Wati, Ahmad, Heru, Dini, Hadi, dan Ane—semua sudah lulus, bekerja di kawasan elit ibu kota, tapi mereka masih menjaga hubungan. Perjalanan ke Sukabumi kali ini bukan hanya untuk menghadiri pemakaman, tapi juga untuk merangkai ulang kenangan tentang Alman, sahabat yang pernah menjadi bagian penting dari hidup kami.
Aku mengumpulkan kekuatan untuk bergerak, mengambil jaket yang tergantung di belakang pintu. Rasanya berat, tapi aku tau bahwa pergi bersama teman-teman adalah langkah yang tepat.
***
Bus yang kutumpangi berhenti di jembatan penyeberangan orang yang berseberangan dengan Mal kecil, tapi memuat kemegahan dari barang-barang Branded yang diperjual-belikan di dalamnya. Pasar Festival, adalah nama yang tak asing kudengar, karena lokasi ini berdekatan dengan Kampusku. Tepat disamping Mal ini, ada jalan lebar yang harus kutapaki demi mencapai Apartemen Taman Rasuna, tempat ternyaman yang dipilih oleh Wati menghabiskan waktu lalu-lalangnya menuju kantornya di Jalan Rasuna Said Kuningan.
Dari kejauhan, di depan lobi sudah terlihat Mobil Kijang Innova keluaran tahun 2004 yang masih mulus memantulkan warna silver metalic, terparkir menanti untuk diasupi oleh desah nafas manusia. Personil geng kami sudah lengkap, kecuali Alman yang kini sedang berada di atas langit ketujuh, menunggu untuk pulang ke pelukan bumi.