Perjalanan pulang dari Sukabumi terasa sunyi di dalam mobil. Langit sore mulai meredup, menyisakan rona oranye yang lembut di cakrawala. Wati menyetir dengan fokus, sementara teman lainnya mengobrol pelan di kursi belakang. Namun, Aku hanya duduk diam di kursi penumpang depan, menatap keluar jendela tanpa suara. Rasa duka masih menekan hati, seperti batu yang sulit diangkat.
Biasanya, Aku adalah orang yang paling banyak bicara dalam perjalanan seperti ini, sering melemparkan lelucon untuk mengisi keheningan. Tapi kali ini, aku terbenam dalam pikiranku sendiri. Kesedihan karena kehilangan Alman terus menghantui, seolah tak ada yang bisa menghilangkan perasaan kosong itu. Suara tawa kecil di belakangku terdengar jauh, seakan berasal dari dunia yang berbeda.
Namun, bukan hanya duka yang menghimpitku. Jiwaku juga terus melayang ke posisi perdagangan yang belum ditutup. Angka-angka terus bermain di kepalaku, grafik harga yang turun naik, dan kerugian yang mungkin semakin membengkak. Aku merasa tersudut, terjebak antara duka kehilangan sahabat dan kecemasan atas pekerjaan. Setiap kali aku mencoba memikirkan sesuatu yang lain, bayangan layar monitor dengan angka-angka itu kembali mengisi benakku.
Hans menyadari keheninganku dan menoleh ke arah depan, bertanya pelan, "Lo nggak apa-apa, Fin?"
Aku hanya mengangguk singkat tanpa mengalihkan pandangan dari jalan yang terus menghampar di depan. “Iya, Gue nggak apa-apa,” jawabku datar, meski hati terasa bergejolak.
***
25 Januari 2006