Di dalam kepalaku, gambaran Pak Rendi semakin nyata. Sekte itu nyata. Bukan hanya sekedar organisasi rahasia, tapi sebuah kelompok yang memiliki kekuasaan tak terbatas. Aku melihat Pak Rendi bukan hanya sebagai atasan biasa, melainkan ketua dari sekte penyembah Dajjal—sekte yang sudah lama berafiliasi dengan berbagai lini kekuasaan di Indonesia. Mereka terhubung dengan partai politik, pejabat, dan pengusaha, semuanya bekerja di bawah bayang-bayang menyambut kedatangan Dajjal.
Aku merasa nafas semakin cepat. "Mereka tau aku tau," pikiranku mengembara. Suara langkah kaki dari luar pintu rumah terdengar begitu mencolok di telinga, seolah seseorang sedang mengintaiku. Mereka pasti sedang merencanakan sesuatu—menunggu saat yang tepat untuk membungkamku. Aku merasa tubuh ini menegang, tidak ada tempat yang aman.
Aku duduk di sudut ruangan, mata terus menerus melirik pintu dan jendela. Kelelahan mendera, tapi tidak berani tidur. Dalam otakku, jika tertidur, mereka akan datang. "Mereka akan menyayat nadiku saat aku tidak sadar," suara hati ini diiringi dengan tangan yang gemetar. Aku bisa membayangkan Pak Rendi berdiri di atasnya, dengan pisau tajam di tangan, diiringi dengan bisikan-bisikan mistis yang memuja Dajjal. Mereka akan mengorbankan aku untuk mempercepat kebangkitan.
Rasa lapar datang, namun aku menepisnya dengan ketakutan yang lebih besar. Aku tau, makanan bisa jadi alat mereka untuk meracuni. Aku tidak berani menyentuh apa pun di dalam lemari es kecuali botol minuman. Setiap bungkus makanan tampak seperti jebakan yang sudah disiapkan. Mungkin Pak Rendi sudah memasukkan racun di sana, atau mungkin sekte itu memiliki cara yang lebih canggih untuk membunuh tanpa meninggalkan jejak.
Waktu berlalu lambat. Setiap detik terasa seperti jam. Aku duduk di lantai, punggung menempel ke dinding, mata liar mengawasi setiap sudut ruangan. Perasaan dikhianati, ketakutan, dan paranoia semakin menghimpit. "Aku harus waspada," kata batinku terus berulang-ulang, seolah mantra itu adalah satu-satunya hal yang bisa menyelamatkanku dari sekte yang kini seakan menguasai seluruh hidupku.
Bagiku, tidur bukan lagi pilihan, dan makanan hanyalah racun yang menunggu untuk merenggut nyawa. Aku merasa terperangkap dalam konspirasi besar, yang mematikan, dan setiap langkahku kini berada di ujung bahaya.
***
Sudah sepekan ini aku melewati hari tanpa arti. Ibu tampak sedih melihat aku berperilaku jauh dari kata ‘Normal”. Bahkan, aku sudah tidak bisa berinteraksi dengan manusia di luar sana. Contohnya ketika ibu menyuruhku pergi ke bank, untuk mentransfer sejumlah uang kepada Eyang yang berada di Solo. Dengan gugupnya, aku seolah menjadi orang yang dungu seantero jagat, saat berada di depan teller. Tidak tau apa yang harus aku tulis. Padahal, rutinitas ini kerap aku lakukan setiap bulan.
Puncaknya adalah saat aku terbaring di kamar yang sempit, tubuh terasa tidak biasa. Di mataku, cahaya pagi yang menyusup melalui jendela tidak membawa ketenangan, melainkan perasaan ganjil yang merayap di kulit. Aku merasakan gerakan-gerakan dalam tubuh ini seolah hidup, seperti ada sesuatu yang tak bisa dikontrol. Tanganku gemetar tanpa sebab, dan dada terasa sesak oleh perasaan cemas yang tak terjelaskan.
Ibu, dengan sorot mata yang dipenuhi kekhawatiran, duduk di samping tempat tidurku. Wanita paruh baya itu terlihat lelah, namun kesedihan di wajahnya tidak bisa disembunyikan.
"Nak, kamu kenapa? Kamu tidak pernah seperti ini sebelumnya," suara ibu bergetar, hampir berbisik, seolah takut menambah beban putranya. Air mata menggenang di sudut matanya.