Aku duduk di kamar, menatap jendela yang tertutup tirai dengan pandangan kosong. Sudah berminggu-minggu aku tidak keluar rumah. Dunia di luar sana terasa terlalu jauh, terlalu asing. Tanganku bergetar tanpa kendali, gerakan tremor yang membuat semakin sulit untuk fokus. Semua delusi dan ketakutan, tentang Covenant, tentang Firman, tentang ancaman dari sekte itu, masih berputar di kepalaku.
Suara ibu terdengar dari luar kamar, lembut tapi penuh harapan, "Dhefin, ayo keluar sebentar. Asmara ingin ketemu kamu di restoran, dia sudah lama menunggu."
Aku diam, lalu meremas tangan yang masih bergetar, berusaha mengendalikannya. Tapi tremor itu terus datang, seolah-olah ada sesuatu yang ingin keluar dari dalam diri ini.
"Aku... nggak bisa, Bu. Ada sesuatu yang salah dengan tubuhku. Aku... Mereka mungkin akan melihat Aku." Suaraku hampir berbisik, seperti berbicara pada diriku sendiri.
Ibu masuk ke kamar, duduk di tepi tempat tidurku. Matanya yang sayu memperlihatkan keprihatinan yang mendalam, tetapi ada kekuatan dalam suaranya, "Nak, kamu harus mencoba. Ibu tau ini berat buat kamu, tapi kamu nggak bisa selamanya mengurung diri di sini. Ibu percaya kamu bisa melewatinya."
Aku menarik nafas panjang. Keringat dingin mulai membasahi pelipis saat aku memikirkan untuk kembali keluar, kembali ke dunia yang menurutku penuh dengan ancaman. Aku merasa setiap orang di luar sana memperhatikan, membicarakanku—mungkin bahkan merencanakan sesuatu.
"Aku takut, Bu." Akhirnya aku mengakui, dengan suara penuh kegelisahan. "Mereka semua tau. Mereka semua tau tentang aku. Tentang Pak Rendi, tentang Covenant. Aku nggak aman di luar sana."
Ibu menggenggam tanganku yang gemetar, meremasnya lembut, "Itu hanya ada di pikiran kamu, Nak. Nggak ada yang akan menyakitimu. Ibu yakin, bertemu dengan Asmara akan membuatmu merasa lebih baik. Dia selalu mendukungmu."
Aku menatap ibu, mata ini memancarkan kelelahan mental yang dalam. Aku tau bahwa ibu hanya ingin yang terbaik untukku. Tapi di dalam diri ini, pertempuran dengan delusi dan ketakutanku masih berkecamuk. Namun, ada sesuatu dalam kata-kata ibu yang memberi sedikit kekuatan.
"Aku... aku akan coba, Bu. Tapi... jika terjadi sesuatu..." Aku menggantungkan kata-kata, takut mengatakannya dengan lebih jelas.
"Tidak akan terjadi apa-apa, Dhefin. Ibu akan selalu di sini, dan Asmara akan menjaga kamu di luar sana. Kamu harus percaya pada dirimu sendiri."Â
Dengan berat hati, Aku bangkit dari tempat tidur, tangan masih bergetar, tapi kali ini ada sedikit tekad di mataku. Meski tubuh masih terasa melawan, aku harus mencoba.
***