Malam itu, aku duduk di sudut kamar dengan tangan gemetar. Angin dingin bertiup pelan, menerpa kulit. Aku meyakini angin ini bukan sekadar angin biasa, “Angin lembut dari Syam... ini tanda besar,” bisikku, mengingat hadis yang sering kubaca tentang tanda kiamat. Angin ini, katanya, akan mematikan setiap Muslim yang masih beriman, dan hanya meninggalkan orang-orang paling jahat di dunia.
Namun, yang membingungkan, aku masih hidup. Tubuh masih bernafas, dan yang lebih aneh, orang-orang di sekitarku, ibu, Ratno, Supri, Lilis, juga tidak mati. Mereka semua tampak seperti biasa, hidup dan beraktivitas seolah tidak ada yang terjadi.
"Kenapa aku tidak mati?" Kuberpikir keras dengan perasaan cemas. "Aku masih hidup, tapi angin itu sudah datang... Jadi, apakah aku bukan lagi orang beriman?"
Gerakan tremor di tangan semakin kuat, dan jantung berdebar tak menentu. Mataku beralih ke arah ibu yang tengah membereskan ruang tamu. Wajah ibu tampak lembut, tetapi di mataku, itu bukan wajah seorang ibu. Aku mulai berpikir, “Jika mereka tidak mati... apakah mereka semua... penjelmaan setan? Orang-orang jahat yang tersisa setelah angin ini?”
Pikiran itu merasuki akal sehatku yang semakin kabur. Aku menatap ke sekeliling rumah, setiap sudut terlihat penuh kegelapan yang menyimpan bahaya. Mataku kembali ke arah ibu, “Itu bukan ibu lagi,” gumamku. “Tidak mungkin... semua ini sudah berubah. Covenant pasti ada di balik ini semua...”
Perlahan, aku berdiri dari tempat duduk, tubuh lemah tapi otakku terus bekerja mencari jawaban. Suara langkah kakiku bergema di dalam rumah. Aku berjalan ke luar kamar dengan pandangan tajam, terus mengamati semua yang ada di sekitar.
Ibuku tampak gusar melihat aku keluar kamar, “Nak, kamu kenapa keluar malam-malam? Mau minum teh?”
Dengan suara serak dan cemas, aku berkata, “Ibu... apa yang sebenarnya terjadi di sini?”
Ibu tersenyum lembut, “Terjadi apa, Nak? Semuanya baik-baik saja. Kamu cuma perlu istirahat, semuanya akan lebih baik besok.”
Aku menatap tajam ke arah ibu, “Tidak, Bu... semuanya sudah berubah. Aku tau angin itu sudah datang. Tapi kenapa Aku masih hidup? Kenapa... kalian semua masih hidup?”
Ibu terlihat kebingungan, “Apa maksudmu? Angin apa? Nak, kamu harus tenang, Kamu hanya kelelahan.”
Aku mundur perlahan, dengan wajah semakin tegang, “Angin dari Syam... tanda kiamat. Seharusnya Kita semua mati, Bu. Tapi Kita tidak... Apakah ini artinya Kalian semua...” Kuberhenti sejenak, menahan emosi, “...penjelmaan setan?”