Cinta Berbalut Kalut

Asfar Asfahan
Chapter #32

Dari Lubuk Hatiku yang Patah

Hari itu, aku bertekad untuk mengakhiri segala ketidakpastian. Ancaman Firman dan Covenant semakin memuncak, dan aku merasa satu-satunya cara untuk menyelamatkan Ciku dari cengkeraman mereka adalah dengan menikahinya. Aku merasa, dengan pernikahan, Ciku akan berada dalam perlindungan dan jauh dari ancaman-ancaman yang terus menghantui.


Aku menunggu di luar kantor Ciku di daerah Tendean, duduk di bangku kecil di bawah pohon besar. Pikiranku terus dipenuhi bayangan Firman dan Covenant untuk mencelakai Ciku. Saat pintu kantor terbuka, aku melihat Ciku keluar, diantar oleh tiga pria yang tampak akrab dengannya. Hatiku langsung mendidih.


Aku menatap tajam ke arah ketiga pria yang berbincang dengan Ciku. Mereka tertawa lepas, tak menyadari bahwa dalam benakku, mereka bukanlah rekan kerja biasa. Mereka adalah musuh-musuh dalam bayangan, anggota Covenant yang berusaha menodai Ciku dengan paksaan. Tiba-tiba, rasa marah dan cemburu menyelimutiku.


Tanpa berpikir panjang, aku segera berdiri dan berjalan cepat ke arah mereka. Tangan kananku menggenggam lengan Ciku dengan kuat, membuat Ciku tersentak kaget.


Dengan suara keras dan penuh emosi, aku berkata, “Ayo pulang. Sekarang juga!”


Ciku terkejut, tapi mencoba tenang, “Mas, apa yang kamu lakukan? Kamu kenapa?”


Aku menarik Ciku menjauh dari ketiga pria itu, “Mereka... Mereka bukan temanmu! Mereka sudah merusakmu, Aku tau!”


Dalam kebingungan dan panik, Ciku menjawab, “Mas, Mereka hanya teman kantor! Apa yang Kamu bicarakan?”


Masih dengan nada emosi, kuberucap, “Kamu gak tau apa yang mereka lakukan di balik semua ini. Aku gak akan biarkan mereka menyentuhmu lagi! Ayo kita pulang!”


Ciku, yang masih bingung dengan perubahan sikapku, hanya bisa mengikuti saat diajak naik ke bus Mayasari Bakti. Di dalam bus, suasana terasa sangat tegang. Aku duduk dengan napas berat, tangan gemetar, sementara Ciku hanya menatapku dengan kebingungan dan kesedihan yang dalam.


Setelah beberapa saat dalam keheningan, Aku akhirnya membuka mulut. Namun, kalimat yang keluar tidak seperti yang Ciku duga. Di tengah kekacauan pikiran, Aku mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan sesuatu yang sudah lama terpendam.


Lihat selengkapnya