Setelah pertemuan dengan Ciku di restoran, aku pulang ke rumah dalam keadaan hancur. Semua terasa gelap dan tak berujung, tidak hanya secara emosional, tetapi juga finansial dan akademis. Beban yang semakin menumpuk menjerat pikiran, menarikku lebih dalam ke jurang kehampaan yang tak kupahami.
Setibanya di rumah, aku tidak langsung masuk ke dalam. aku terhenti di depan pintu, mata kosong, memandang lantai teras yang kotor. Pikiran-pikiran negatif terus berputar, seperti lingkaran yang tak ada ujungnya. Aku tidak hanya merasa kehilangan Ciku, tetapi juga kehilangan segalanya—keluarga, masa depan, bahkan diriku sendiri.
Aku meraba-raba pikiran, mencari cara untuk memahami apa yang telah terjadi dalam hidupku. Tak hanya Ciku yang telah menjauh, tapi kerugian besar dalam investasi yang aku kelola menggunakan uang orang tua, kini membanjiri pikiranku. Sebelumnya, aku berharap akan bisa menebus kesalahan dan membawa keuntungan besar, tetapi semua rencana itu hancur berkeping-keping. Modal awal sebesar Rp21 juta yang aku gunakan, telah berubah menjadi hutang yang tak mungkin kulunasi.
"Uang mereka... semuanya hilang. Aku menghancurkan segalanya... Ibu, Ayah... maafkan aku," bisikku yang hampir tidak terdengar.
Air mata mulai mengalir pelan di pipi. Aku merasakan begitu dalamnya kegagalan yang kualami. Orang tua, yang mempercayakan uang mereka dengan harapan besar, kini harus melihat anak mereka jatuh dalam kehancuran. Kerugian itu seperti lubang besar yang menelanku, semakin dalam.
Tak hanya itu. Aku juga kehilangan satu-satunya harapan untuk menyelesaikan skripsi. Alman, sahabat baikku yang cerdas, satu-satunya orang yang bisa membantu melewati ujian akademis terakhir, kini telah tiada. Kecelakaan tragis yang merenggut nyawa Alman terasa semakin berat di pikiranku. Aku percaya bahwa kecelakaan itu tidak kebetulan—melainkan bagian dari rencana Covenant untuk menghancurkan semua harapanku.
Aku teringat peristiwa kecelakaan yang menimpa Alman. Saat mendengar berita kecelakaan itu, di mana Alman tewas di jalan setelah menyalip bus di malam yang sunyi. Namun bagiku, kejadian itu tidak hanya sekedar kecelakaan lalu lintas. Aku mulai meyakini bahwa Covenant-lah yang bertanggung jawab atas kematian Alman. Mereka merencanakan semuanya, mengawasi setiap langkahku, dan kini, setelah membuatku jatuh dalam hutang dan kehilangan Ciku, mereka juga mengambil Alman dari hidupku.
"Alman... mereka membunuhmu, kan? Mereka tidak akan berhenti sampai semuanya hancur... Sampai tidak ada lagi harapan," gumamku dalam hati.
Aku jatuh terduduk di teras rumah. Kaki terasa lemas, dan pikiranku berkelana lebih dalam ke alam delusi. Di kepalaku, peristiwa-peristiwa itu terjalin menjadi satu, menciptakan jaring-jaring teori konspirasi yang semakin menjerat kesadaran. Covenant telah merencanakan semuanya: kerugian finansial, kematian Alman, penolakan Ciku, semuanya adalah bagian dari plot besar untuk menghancurkanku dan membuka jalan bagi Dajjal.
Tubuhku gemetar, berbicara kepada bayanganku sendiri, "Ini semua rencana mereka... Mereka ingin aku hancur. Mereka tau, aku satu-satunya yang bisa menghentikan Dajjal... dan mereka tidak akan membiarkan itu terjadi. Alman... Ciku... semuanya... sudah tidak ada. Aku... sendirian."
Dalam ketakutan yang mendalam, Aku merasa semakin terisolasi dari dunia. Segala sesuatu yang dulu aku andalkan kini hilang, mulai dari dana investasi orang tua, hingga sahabat terbaikku. Satu per satu, semua yang aku hargai direnggut, dan aku semakin yakin bahwa ini adalah bagian dari misi Covenant untuk menghancurkan hidupku sepenuhnya.