Di tengah keputusasaan keluargaku dan Ciku, mereka mulai menyadari bahwa delusiku tentang Dajjal bukanlah sekadar gangguan mental biasa. Tanda-tanda yang aku tunjukkan semakin ganjil dan membuat mereka berpikir untuk mencari jalan keluar lain. Diskusi berlangsung di ruang tamu rumahku, dengan udara yang tegang namun penuh keinginan untuk menyembuhkanku.
Ibuku duduk di sofa, memegang tangan Ciku erat, wajahnya penuh kegelisahan.
Ibu berkata, "Asmara, saya sudah tidak tau lagi harus bagaimana. berbagai pengobatan alternatif ini sepertinya tidak membawa perubahan. Kamu lihat sendiri, Dhefin semakin aneh. Semua tentang Dajjal, sekte... seolah dia benar-benar hidup di dunia lain."
Ciku mengangguk, wajahnya juga penuh kerisauan, "Saya juga berpikir begitu, Bu. Saya merasa... mungkin masalah ini bukan cuma soal medis."
Ibu menatap Ciku, matanya berbinar dengan harapan yang tipis, "Maksudmu?"
Ciku menarik napas panjang, "Ada satu hal yang saya pikirkan. Dari apa yang Mas Dhefin ceritakan tentang Dajjal dan segala hal gaib ini... mungkin kita perlu mencoba pengobatan lainnya. Saya pernah dengar tentang rukyah, Bu. Mungkin kita bisa mencobanya?"
Ibu terdiam sejenak, kemudian menatap dalam-dalam mata Ciku, "Kamu yakin itu bisa membantu?"
Ciku mengangguk, "Kita tidak akan pernah tau kalau tidak mencoba. Tapi ada satu orang yang saya pikir bisa membantu. Namanya Uwais, dia seorang Ustaz yang juga merupakan Guru Spiritual Mas Dhefin. Saya yakin Mas Dhefin punya nomor kontaknya di ponselnya."
Ibu tersentak mendengar nama itu, "Uwais? Apakah dia bisa menangani hal seperti ini?"
Ciku mengambil ponselku yang tergeletak di meja dan mulai mencari kontak Uwais, "Saya rasa begitu, Bu. Dari cerita-cerita yang saya dengar, dia mengajarkan Al-Qur’an dan cukup berpengalaman dengan hal-hal seperti ini. Yang penting, kita harus mencoba. Mas Dhefin sudah terlalu lama terjebak di dunia delusinya, dan kalau memang ini masalah spiritual, kita tidak boleh menunggu lebih lama."
Setelah beberapa menit mencari, akhirnya Ciku menemukan kontak Uwais di daftar teleponku. Tanpa ragu, dia langsung menekan tombol panggil. "Halo, Assalamu'alaikum, Ustaz? Ini Asmara, teman Dhefin. Kami butuh bantuan. Bisakah Ustaz datang ke rumah segera?"
Di ujung telepon, Uwais merespons dengan tenang, "Wa'alaikumussalam, Asmara. Tentu, saya akan datang. Apa yang terjadi dengan Dhefin? Selama ini saya sudah berulang kali menghubunginya, tapi tidak ada tanggapan."
Ciku menjelaskan situasiku dengan nada cemas, "Kami sudah mencoba berbagai cara, tapi kondisi Mas Dhefin semakin memburuk. Dia terus bicara soal Dajjal, sekte-sekte, dan hal-hal gaib. Kami berpikir ini bukan hanya masalah kesehatan mental semata. Kami mohon, bisakah Ustaz segera ke sini?"