Hari berikutnya, Uwais mulai lebih sering datang ke rumahku. Setiap kali tiba, dia membawa ketenangan, berusaha menembus tembok delusi yang mengungkung pikiranku. Ibu dan Ciku duduk di sudut ruangan, memperhatikan dengan cemas namun penuh harapan.
Uwais duduk di sampingku, menyodorkan Al-Qur'an dengan lembut, "Dhefin, mari kita mulai perlahan-lahan. Kita baca Ayat Kursi bersama, seperti yang dulu sering kita lakukan di kajian."
Aku menerima Al-Qur'an itu, namun tangan ini gemetar, mata berkedip cepat seolah melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh orang lain, "Aku tau kenapa Antum ingin Ana membacanya... untuk melindungi diri dari Mereka, kan? Tapi Mereka... Mereka lebih kuat dari ini."
Uwais mengangguk, tetap bersikap tenang, "Ayat Kursi adalah perlindungan dari Allah, Dhefin. Tidak ada yang lebih kuat dari-Nya. Ayo Kita baca bersama."
Aku mulai membaca, namun suara terputus-putus, tidak pernah utuh. Beberapa kata tersendat, dan aku sering terhenti di tengah-tengah ayat. Mataku terus menerawang, seperti mencari-cari sesuatu di ruangan itu.
Aku menutup Al-Qur'an dengan gerakan cepat, wajah memucat, "Ana... tidak bisa. Ada suara-suara... Mereka bilang Ayat Kursi ini tidak akan menolong. Mereka selalu ada di sini, mengawasi, menunggu celah."
Uwais tetap sabar, meletakkan tangannya di pundakku dengan lembut, "Dhefin, suara-suara itu hanyalah ujian. Ayat Kursi adalah kekuatan dari Allah, bukan dari Kita. Kita baca perlahan, tidak perlu terburu-buru. Ini bukan tentang seberapa cepat Antum bisa menyelesaikannya, tapi tentang hatimu yang kembali tenang."
Aku menatap Uwais dengan tatapan bingung, "Tapi... bagaimana jika Ana salah? Bagaimana jika Mereka tau bahwa Aku membaca ini untuk melawan Mereka? Mereka mungkin lebih marah."
Uwais menggeleng pelan, "Mereka tidak bisa lebih kuat dari kehendak Allah. Fokuslah, Dhefin. Baca dengan hati yang berserah, jangan dengan ketakutan. Semua yang mengganggu itu hanya ilusi."
Aku mencoba lagi, meski tetap terhenti-henti. Ketakutan dan kekalutan masih membayangi pikiranku, seolah setiap kata yang diucapkan adalah pertempuran melawan sesuatu yang tidak terlihat.
Setelah beberapa menit, aku kembali menutup Al-Qur'an, kali ini dengan napas berat, "Aku... Aku tidak bisa. Terlalu banyak suara... terlalu banyak yang mengintai."
Uwais tetap sabar, namun dia tau proses ini tidak akan mudah, "Tidak apa-apa, Dhefin. Kita tidak harus menyelesaikan semuanya hari ini. Kita akan terus berusaha. Sedikit demi sedikit, Kita bisa melawan ini. Kamu tidak sendirian."
Ibu yang duduk di sudut ruangan tampak menahan air mata, sementara Ciku menggenggam tangannya erat, mencoba memberikan dukungan.