Sore menjelang menampakkan raut wajah sendu, saat matahari hendak pergi untuk melintasi rotasi bumi. Lampu-lampu Masjid Al-Fatah mulai tampak bersinar, menerangi para jamaah yang berkumpul ingin menghilangkan dahaga dan rasa lapar di kantong perut mereka. Aku terpesona melihat kerukunan dan persaudaraan mereka yang duduk melingkar dalam kelompok-kelompok kecil berisi empat sampai lima orang, dengan nampan berisi nasi kebuli di tengahnya.
Setelah itu, mereka bersiap untuk melaksanakan salat magrib. Rasa takjubku belum berhenti, saat mereka berbaris rapi dalam saf yang tidak ada celah sedikitpun untuk dimasuki oleh setan yang ingin mengganggu kekhusyukan. Mata kaki bertemu dengan mata kaki, dan bahu bertemu dengan bahu. Pakaian mereka sangat indah dengan jubah-jubah Saudi, maupun gamis-gamis Yaman. Disertai wangi semerbak parfum Misk dan Kasturi, menambah khidmat yang dalam saat bertemu dengan Rabb kami Allah Ta’ala.
“Inilah, sebenar-benar pasukan Muslim yang berada pada manhaj yang hak. Ditangan merekalah kemuliaan Islam akan berkibar, karena mereka adalah kaum yang terpilih untuk memegang panji hitam perang melawan musuh-musuh Islam. Termasuk Covenant yang sudah mengintai tempat ini, tapi tidak pernah bisa memasukinya. Seolah ada benteng tak kasat mata yang tidak dapat ditembus oleh bola-bola api para setan dan jin pengikut Dajjal.
***
Malam itu, suasana di Masjid Al-Fatah terasa khusyuk dan damai. Ustaz Burhan mengimami salat tarawih dengan penuh ketenangan, melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an yang menggema lembut di dalam masjid. Di rakaat terakhir, dia mulai membaca tiga surah pendek: Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas. Bacaan yang menenangkan dan memiliki kekuatan spiritual khusus dalam rukyah.
Namun, di tengah salat itu, aku mulai merasakan sesuatu yang aneh. Tubuh ini seolah-olah tidak lagi milikku. Kedua tanganku bergerak aneh, menggenggam sesuatu yang tidak ada—seperti pistol di satu tangan dan pedang di tangan lainnya. Pikiran dan delusi kembali menghantui, bayangan-bayangan perang dan pertempuran memenuhi benakku, seolah sedang berada di garis depan jihad.
Saat Ustaz Burhan mengakhiri salat dan berdoa, Aku mulai tidak bisa mengendalikan tubuh. Wajah menegang, napas tersengal-sengal, "Ada sesuatu di dalam tubuhku!" Aku tiba-tiba berteriak. Suara menggema di dalam masjid yang gempar.
Ustaz Burhan yang melihat gelagat aneh padaku, mendekati perlahan, "Dhefin, dengar Ana. Ini saatnya untuk mengeluarkan segala yang mengganggu pikiran dan tubuhmu. Ana akan memulai rukyah," katanya dengan tenang.
Tiba-tiba, aku meronta. Tubuhku terjatuh ke lantai, menggeliat-geliat seperti sedang bertarung dengan kekuatan tak terlihat. Para jamaah yang berada di Masjid segera berlari mendekat, termasuk Uwais. Mereka memegangi tubuhku yang terus meronta, dengan wajah penuh keprihatinan.
"Pegang tangannya! Jangan biarkan dia melukai dirinya sendiri," ujar Ustaz Burhan kepada jamaah.
Mulutku tidak berhenti meracau, dengan suara terdengar penuh ketakutan dan kemarahan, "Aku tidak akan kalah! Dajjal! Mereka ada di mana-mana!" kataku dengan nada penuh kecemasan. "Mereka ingin mengambil jiwaku!"
Uwais memegangi kedua tanganku yang terus mencoba meronta. "Tenang, Dhefin. Kami di sini untuk menolong Antum." Namun, perkataannya seperti tidak terdengar olehku yang tenggelam dalam delusi.