Itulah kisah hidupku yang jelas menancap kuat di dalam kalbu dan memori otakku. Disini, di kamar isolasi sebuah bangsal, tempat orang-orang tak waras, sedang berjuang untuk memulihkan kewarasannya.
Rengekan pintu terbuka, seperti suara anak kecil meminta belas kasihan orang tuanya meminta mainan. Begitu pula aku, yang memohon iba dari seorang gadis berparas cantik memakai baju putih perawat yang indah membalut tubuh rampingnya. “Pagi Dhefin, sekarang sudah waktunya kamu keluar dari ruang isolasi ini, yah!” ucapnya manis sambil membuka ikatan pada pergelangan tangan dan kakiku. Alhamdulillah, akhirnya aku dapat menghirup udara bebas, meskipun belum bebas sepenuhnya, karena panti ini dikelilingi oleh pagar tinggi layaknya penjara Alcatraz yang sulit untuk keluar.
Didampingi seorang perawat pria, dia menuntunku untuk membersihkan diri ke kamar mandi. Aku tampak sungkan dan malu ketika perawat pria itu melepaskan pakaian dan memandikanku layaknya seorang bocah. Tapi, beginilah kehidupan di bangsal yang mendobrak akal sehat dan adab yang selama ini aku pegang teguh.
Setelah selesai mandi, dia membawaku ke ruang tengah, suatu tempat dimana para pasien menghabiskan hari-hari tanpa makna. Aku melihat sekitar 30-an orang mengantri dengan nampan di tangan untuk mendapatkan sekepal nasi dan lauk-pauknya. akupun tak ingin luput dari kesempatan untuk dapat membenamkan makanan ke dalam dasar lambungku.
Tak berapa lama dari adegan suap-menyuap makanan ini, terlihat seorang dengan jas putih ciri khas seorang Dokter, berada di meja kerjanya. Dialah Dokter Mahdi, seorang Psikiater handal yang bekerja di sebuah Rumah Sakit ternama di Jakarta yang mempunyai panti ini. Dia tidak terlalu banyak bicara saat para pasien dipanggil satu per satu untuk duduk di hadapannya. Hanya menanyakan kabar dan memberikan obat yang disodorkan oleh perawat cantik itu, untuk kami tenggak dengan segelas air.
Hari-hari aku lalui dengan penuh kebosanan. Memang, ada aktifitas rutin seperti bernyanyi karaoke, permainan kelompok, dan lainnya. Namun, tetap saja hatiku hampa karena tidak hadirnya orang-orang yang aku cintai bersamaku. Aku mulai terbunuh dengan rasa sepi dalam keramaian sorak sorai mereka.
***
Malampun datang, dan terdengar suara takbir menyongsong hari raya idulfitri esok hari, menggema sahut-menyahut di luar kokohnya dinding pagar panti. Aku meyakini, malam ini adalah puncak dari pecahnya perang terbuka antara Laskar Legion Anshar melawan Sekte Covenant of the Final Dawn. Bagiku, suara petasan dan kembang api yang membumbung tinggi ke angkasa, bukanlah suara seremonial belaka, melainkan adalah suara letusan dari senjata laras panjang maupun pistol dari perang kota yang terjadi di luar. Aku sengaja diungsikan disini untuk menyelamatkan diri dari keganasan perang. Nantinya aku akan keluar dijemput dengan kemenangan oleh Ibu, Uwais, dan juga Ciku yang sekarang sudah aman berada di Masjid Al-Fatah.
***
Pagi itu, aku duduk termenung di sebuah kursi di halaman kecil panti, menatap hampa pada langit cerah. Pikiran melayang, bercampur aduk antara kenyataan dan delusi yang terus menghantuiku. Ketukan ringan di pintu pagar membuatku tersentak. Seorang perawat membuka pintu dan mempersilakan tamunya masuk.
Aku menoleh dan melihat sosok yang familiar berjalan mendekatiku. Ciku, dengan raut wajah lembut namun serius, menghampiri. Dia tersenyum tipis, namun ada ketegangan di matanya.
Ciku: "Hai, Mas. Apa kabar?"
Aku hanya mengangguk pelan, tidak mampu berkata-kata. Pikiran masih dibayangi oleh segala hal yang aku anggap nyata selama ini.
Ciku duduk di kursi sebelahku, menatap sebentar sebelum mengambil napas panjang.
Ciku: "Aku sudah berbicara dengan beberapa orang tentang situasimu, Mas. Dan... ada banyak hal yang perlu kita bicarakan, hal-hal yang mungkin belum kamu sadari."
Aku mengerutkan dahi, menatap Ciku dengan kebingungan. Aku tidak tau apa yang dimaksud oleh Ciku. Sesuatu dalam diri merasa gelisah, seperti ada kebenaran yang siap menghantamku.