Cinta Berbalut Kalut

Asfar Asfahan
Chapter #40

Menepis Bayang Kasih

Aku akhirnya menemukan kedamaian setelah perjalanan panjang yang berliku, melalui masa-masa sulit dengan delusi dan penyakit "Skizofrenia Paranoid" yang menghantui. Tahun 2007 menjadi titik balik dalam hidup. Dengan bantuan sahabatku, Hans, aku berhasil menyelesaikan skripsi, meski tantangan dan perjuangan mental terus membayangi. Di momen kelulusan, aku merasa bangga dan lega karena mampu menaklukkan ujian hidup yang tidak hanya akademis, tapi juga batiniah.


Aku kini menetap di sebuah rumah kecil di atas tebing tinggi Pantai Kesirat, Gunung Kidul, Yogyakarta, sebuah tempat yang memberikan ketenangan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Dari jendela kamarku, aku bisa melihat hamparan laut Samudra Hindia yang begitu luas, biru, dan tenang. Gelombang-gelombang besar menghantam karang dengan suara gemuruh yang menenangkan, seakan menjadi melodi yang tak pernah lelah menyambut hari-hariku. Di sore hari, langit berubah warna—ungu, merah, jingga—menghiasi cakrawala, seolah-olah alam semesta sedang menghiburku setelah perjalanan panjang yang berat.


Udara di sini selalu segar, angin laut membawa aroma asin yang khas, membelai lembut kulitku setiap kali aku berdiri di teras rumah. Di sekitar, pepohonan hijau dan semak belukar tumbuh subur, menambah suasana damai tempat ini. Hidup di sini seakan memberiku ruang untuk bernapas kembali, jauh dari kebisingan kota dan segala kenangan kelam yang pernah menghantuiku.


Aku ingat hari-hari ketika pikiranku dipenuhi delusi yang menggangguku, membuatku tak bisa membedakan mana realitas dan mana ilusi. Waktu itu aku hidup dalam ketakutan yang konstan, merasa dikejar-kejar oleh bayangan yang tidak nyata. Kehilangan sahabat, beban skripsi, hingga kerugian besar di pekerjaan yang bahkan tak pernah ada, semua itu membuatku terperangkap dalam dunia yang gelap.


Namun, seiring berjalannya waktu, dan berkat dukungan orang-orang terdekatku—ibu, Ciku, Uwais—aku mulai bangkit. Setelah menjalani perawatan panjang, aku menyadari betapa pentingnya untuk menerima kenyataan dan melepaskan masa lalu. Aku tidak lagi merasa dikejar oleh masa laluku. Di sini, di tempat ini, aku bisa hidup dengan tenang, meskipun harus terus meminum obat antipsikotik untuk menjaga kestabilan pikiranku.


Aku sering berjalan ke tepi tebing, memandang jauh ke laut yang seakan tidak berujung, dan berpikir tentang semua yang telah kulalui. Setiap tarikan nafas disini mengingatkanku pada kesempatan kedua yang telah diberikan padaku—kesempatan untuk memulai kembali, untuk membangun hidup yang lebih baik dan damai. Tidak ada lagi ketakutan, hanya rasa syukur dan harapan untuk masa depan yang lebih cerah.


Di sinilah aku sekarang, seorang Freelance Web Developer, menjalani hidup yang sederhana namun penuh arti. Aku masih sering berkomunikasi dengan ibu, Ciku, dan Uwais, dan meskipun mereka jauh, aku tahu mereka selalu ada untukku, sama seperti ketika mereka ada di saat-saat tergelap hidupku. Setiap kali suara ombak menerpa tebing, aku diingatkan bahwa hidup terus bergerak—dan begitu pula aku.


***


Tahun berikutnya, aku mengalami kegagalan yang cukup dalam. Ciku, wanita yang selama ini menjadi sahabat sekaligus cinta dalam hidupku, akhirnya dijodohkan dengan seorang ikhwan yang jauh lebih salih dariku. Dia dijodohkan oleh ustazahnya, dan meskipun aku berusaha keras untuk menerima kenyataan itu, ada bagian dari diriku yang tak bisa mengelak dari rasa kecewa. Sungguh, rasanya seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga, sesuatu yang tak bisa tergantikan.


Aku ingat saat-saat di mana kami pernah merencanakan masa depan bersama, berbicara tentang rumah yang akan kami tinggali, anak-anak yang akan kami besarkan. Namun, semuanya kini hanya tinggal kenangan yang harus kutepis jauh-jauh. Bayang-bayang kasih itu masih sering datang menghantui, terutama saat aku sendiri di sini, di rumah kecil di tepi laut ini. Suara ombak sering kali mengingatkanku pada percakapan kami di masa lalu, dan betapa aku dulu berharap bisa membangun hidup bersamanya.


Namun, inilah takdir. Aku harus menerima bahwa semua yang terjadi sudah menjadi bagian dari rencana Allah. Meski berat, aku meyakini bahwa setiap takdir Allah itu baik. Mungkin, di balik semua rasa sakit ini, ada hikmah yang belum bisa kupahami sekarang. Aku harus terus melanjutkan hidup, melepaskan rasa kecewa, dan perlahan menata kembali hati yang pernah hancur.


Ciku sekarang sudah hidup bahagia dengan suaminya. Dan aku? Aku tetap di sini, menjalani hidupku, masih berusaha mempercayai bahwa Allah punya rencana lain yang lebih baik untukku. Setiap malam, ketika aku memandang bintang-bintang di langit Pantai Kesirat, aku berdoa agar hati ini diberi kekuatan untuk terus maju, meskipun kenangan masa lalu masih menyisakan luka. Karena aku tau, pada akhirnya, hidup harus terus berjalan.


***

Aku dan kau adalah pelari.

Yang menempati posisi,

Dari garis start yang sama.

Dan tujuan kita, hanya ingin bersama.


Aku selalu mendamba,

Kita bersanding di podium,

Memegang piala kebahagiaan berdua.

Lihat selengkapnya