“Jangan cemberut seperti itu, sayang. Ayolah, tersenyum.” Esty memerhatikan putrinya yang sedang termenung di atas kasur. Tidur tengkurap dengan menautkan dagunya di atas bantal. Wajahnya tampak sedih. Merasa enggan harus hidup terpisah dengan kedua orang tuanya.
Esty menghentikan kegiatannya, merapikan pakaian yang ia tata di dalam tas Travel untuk dibawa Kanya ke sebuah asrama. Lalu menghampiri sang putri semata wayangnya.
“Aku pasti akan merindukan kalian,” ucap Kanya yang tetap bergeming dari posisinya.
Gadis yang baru saja menginjak remaja itu seperti orang yang sedang patah hati. Tak bersemangat, bahkan serasa ingin tetap berada di atas tempat tidur, memeluk erat bonekanya dan bersembunyi di balik selimut yang tebal.
“Ini ‘kan demi masa depanmu juga, sayang.” Esty duduk di samping putrinya.
“Setiap musim liburan kamu bisa pulang dan merayakan pertemuan kita nanti. Atau, jika sempat setiap minggu pertama aku akan ke sana bersama Ayahmu.” Wanita berparas cantik dan bertubuh langsing itu membelai rambut Kanya yang panjangnya sebahu dengan warna sedikit kecokelatan. Mencoba menghibur gadis itu agar ia tak sedih.
“Hah ...!” Kanya mendengus, serasa ingin melempar bola yang sedang menyumbat di dalam dadanya. Ia bangun dari tidurnya, tetapi masih enggan beranjak. Gadis itu duduk sambil memeluk pinggang Esty dengan erat. Menyandarkan kepala ke bahu wanita yang masih berada di sampingnya.
“Semoga aku tidak akan betah untuk tinggal lama di sana.”
Esty tersenyum mendengar Kanya yang semakin merajuk. Ia mencium pucuk kepala putrinya dengan penuh kasih sayang. Tangannya pun dengan lembut mengusap-usap bahu gadis yang sedang beranjak remaja itu.
“Kalau kamu sudah mendapatkan teman, aku yakin kamu pasti akan betah di sana. Bisa jadi setelah itu kamu akan lupa dengan kami.”
“Entahlah,” dengus gadis itu lagi.
“Halo. Halo ...! Apakah kalian sudah siap?”
Dari balik pintu tiba-tiba Randa muncul. Lelaki berbadan tinggi besar, dengan tatanan rambut yang rapi walaupun ada sedikit uban yang mula menjadi hiasan di kepalanya. Namun, tak menutupi wajahnya yang tampan dan berwibawa, berdiri tegak di ambang pintu. Memerhatikan kedua perempuan yang sangat dia cintai dengan senyum arif.
“Ya. Kami sudah siap,” jawab Esty seraya menoleh ke arah suaminya. Kemudian menggerakkan manik matanya ke Kanya yang bergeming dari bahunya.
Melihat putrinya yang lesu tak bersemangat, Randa melangkah masuk. Mendekat ke ranjang dan menjatuhkan tubuhnya. Duduk tepat di sisi lain Kanya.
“Hei, kamu baik-baik saja ‘kan?” Randa menjentik ujung hidung putri kesayangannya.
“Tidak,” jawab Kanya malas.
“Aku bisa melihatnya.” Lelaki berkarisma itu menyunggingkan senyum.
“Kamu nanti akan terbiasa di sana. Memang membutuhkan penyesuaian untuk beberapa waktu. Aku yakin, kamu pasti bisa melewatinya.”
Randa meraih telapak tangan Kanya. Menepuk punggung tangannya dan menggenggam. Kemudian berkali-kali mengecup telapak halus milik putri kecilnya.