"Pergilah ke mana saja yang kamu suka. Supaya kamu tak kesepian."
Randa merangkul bahu Esty. Sambil berjalan beriring menuju halaman di mana mobilnya terparkir.
Esty tersenyum manis, merasa bahagia karena suaminya begitu meperhatikannya. Tak sia-sia ia menerima Randa sebagai teman hidupnya. Lelaki yang selalu setia dan sangat bertanggung jawab itu benar-benar menyayanginya.
"Sepertinya lebih baik aku di rumah saja. Menunggumu pulang sambil merapikan tanaman yang sudah lama tak kuurus di kebun belakang."
"Terserah kamu saja kalau begitu. Aku akan mengusahakan agar pulang cepat. Supaya sebelum makan malam sudah sampai di rumah."
"Oke. Baiklah."
Mereka berdua saling berpandang dan melempar senyum. "I love you." Tanpa sungkan Randa mendekatkan bibir dan mengecup kening Esty.
"I love you to," balas Esty membiarkan Randa menghujani wajahnya dengan kecupan hangat demi sebuah keharmonisan dalam rumah tangganya seraya menyerahkan tas kerja Randa.
Setelah mobil Randa menjauh dari rumahnya dan menghilang di persimpangan jalan, Esty bergegas menuju halaman belakang rumah. Sebelumnya dia mengambil peralatan berkebun di gudang. Lalu, mulai memangkas, merapikan, memberikan pupuk dan menyirami tanamannya yang tumbuh subur menghiasi sebagian halaman.
Lumayan. Wanita itu tampak sedikit terhibur dengan kesibukannya untuk sementara ini bisa mengusir rasa sepi semenjak putri tunggalnya harus pergi meninggalkannya demi masa depan sang anak.
Esty memandang sejenak seluruh tanaman yang telah ia rapikan. Seutas senyum menghias bibirnya. wanita itu melangkah menuju teras. Menjatuhkan diri kemudian melekatkan pantatnya di bibir teras untuk mengusir lelah setelah beberapa jam bergelut dengan tanaman.
Ia melepas sarung tangannya yang berlumur tanah. Menarik napas panjang sambil mengedarkan pandangan mengelilingi halaman belakang. Seakan puas dengan hasil kerjanya hari ini.
Hah! desahnya. Seolah-olah seluruh udara segar yang terbentang luas di halaman belakang rumah ingin dikuasainya untuk memenuhi kantung paru-paru yang masih kosong berongga. Tak menyisakan untuk siapapun walau itu hanya sedikit saja.
Di tengah keheningan suasana halaman belakang, sayup-sayup ia dikejutkan dengan suara tangis perempuan, merintih pilu. Seperti ada luka yang menyayat.
‘Siapa yang sedang menangis?’ Esty terperangah. Ia memiringkan kepala. Memasang telinga dengan lekat-lekat. Mengarahkan lubang telinganya berlawanan dengan angin yang telah membawa suara itu hingga menembus gendang telinganya.