Cinta Bersemi di Kolong Jembatan Miring

Andika Paembonan
Chapter #6

Bab 6: Di Persimpangan Rasa

Hari-hari Ramadhan terus berlalu, dan kini sudah mendekati penghujung bulan. Jembatan Miring tetap menjadi saksi bisu pertemuan-pertemuan Andi dan Liana, namun setelah Liana tidak muncul di sore yang lalu, Andi merasa kegelisahan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ketidakhadiran Liana membuat Andi merenungkan perasaannya, sesuatu yang selama ini ia pendam dalam-dalam. Setiap sore tanpa Liana terasa hampa. Dan perasaan itu, meski tak diucapkan, mulai menguasai hati Andi.

 Suatu sore, ketika Andi kembali ke Jembatan Miring bersama Gading dan Rio, suasana terasa lebih sunyi. Teman-temannya sudah tahu bahwa Andi sedang tidak dalam mood bercanda seperti biasanya, meskipun mereka sesekali tetap menggoda dengan lagu-lagu India yang kerap mereka nyanyikan.

 “Dia pasti mikirin Liana lagi,” kata Gading setengah bercanda, sambil tersenyum lebar.

 Andi menghela napas panjang. “Kalian nggak ngerti,” gumamnya pelan. Rio dan Gading saling berpandangan sebentar sebelum akhirnya membiarkan Andi tenggelam dalam pikirannya sendiri.

 Di sisi lain sungai, Liana muncul kembali setelah beberapa hari tak terlihat. Ia bersama Caya dan Fitri seperti biasa, tetapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda pada dirinya. Matanya tampak sayu, dan wajahnya tidak seceria biasanya. Andi melihatnya dari jauh, dan tanpa ia sadari, jantungnya mulai berdebar lebih cepat. Ada rasa lega melihat Liana kembali, namun bersamaan dengan itu juga muncul kegelisahan.

 Sore itu berjalan seperti biasa—teman-teman mereka bercanda dan mandi di sungai, namun Andi dan Liana tetap berada di sisi sungai yang berbeda. Mereka saling menatap beberapa kali, tapi tak ada yang berbicara lebih dulu. Hingga akhirnya, ketika sore hampir berakhir, Liana memberanikan diri melangkah mendekati Andi. Caya dan Fitri sudah lebih dulu beranjak pulang, sementara Gading, Rio, dan Ari masih sibuk bermain air di sungai.

 Liana berdiri di seberang Andi, di dekat jembatan yang menjadi tempat pertemuan pertama mereka. “Andi,” panggilnya lembut. Suaranya nyaris tak terdengar di tengah riuhnya suara air sungai dan tawa teman-teman mereka.

 Andi menoleh, kaget sekaligus gugup. Ia tidak menyangka Liana akan memulai percakapan lebih dulu. “Liana,” sahut Andi, berusaha terdengar tenang, meskipun hatinya tak karuan.

 Liana tampak ragu untuk melanjutkan kata-katanya. Ia berdiri canggung, meremas jemarinya sendiri. “Aku… kemarin nggak datang ke sini, karena ada yang harus kupikirkan,” katanya akhirnya. “Sebenarnya… aku juga nggak tahu harus ngomong apa, tapi… rasanya nggak enak kalau kita terus begini.”

Lihat selengkapnya