Cinta Bersemi di Kolong Jembatan Miring

Andika Paembonan
Chapter #15

Bab 15: Surat Cinta Pertama

Matahari pagi yang cerah menyinari kampung kecil tempat Andi dan Devi tinggal. Suara burung berkicau di antara pepohonan, menciptakan suasana tenang yang seolah mengiringi sebuah perasaan manis yang mulai tumbuh dalam hati Andi. Setelah berbulan-bulan dekat dengan Devi, Andi merasa inilah saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya secara lebih serius. Ia ingin melakukan sesuatu yang istimewa, sesuatu yang bisa menunjukkan betapa tulus perasaannya.

Andi selalu menyukai menulis. Sejak kecil, ia sering mencurahkan pikirannya melalui kata-kata, terutama dalam bentuk puisi. Dan kali ini, ia ingin menggunakan bakat itu untuk sesuatu yang lebih pribadi—sebuah surat cinta pertama untuk Devi.

Dengan pena di tangannya, Andi mulai menulis di selembar kertas yang bersih. Kata-kata mengalir dengan mudah, seolah setiap huruf yang ia tulis dipandu langsung oleh hatinya. Surat itu tidak hanya berisi kalimat-kalimat biasa, tetapi dihiasi dengan puisi yang ia buat khusus untuk Devi. Puisi yang menceritakan perasaan, harapan, dan keindahan yang ia temukan sejak kehadiran Devi dalam hidupnya.

Berjam-jam ia habiskan untuk memastikan setiap kata tepat menggambarkan perasaannya. Begitu surat itu selesai, Andi membacanya kembali dengan senyuman puas di wajahnya. Ia berharap surat itu bisa membuat Devi mengerti betapa pentingnya gadis itu dalam hidupnya. Surat cinta ini adalah cara Andi untuk menyampaikan sesuatu yang mungkin sulit ia ucapkan langsung dengan kata-kata.

Keesokan harinya, saat kesempatan itu datang, Andi memberikan surat tersebut kepada Devi dengan tangan sedikit gemetar. Mereka sedang duduk di bawah pohon besar di dekat lapangan, tempat mereka sering bertemu untuk berbincang. Andi tersenyum sedikit gugup saat memberikan surat yang telah ia lipat rapi.

“Ini... aku tulis sesuatu buat kamu,” kata Andi dengan suara pelan namun penuh keyakinan. “Semoga kamu suka.”

Devi tampak sedikit terkejut, tetapi ia menerima surat itu dengan senyum manis di wajahnya. “Terima kasih, Andi. Aku akan baca nanti di rumah.”

Setelah berpisah dengan Andi, Devi langsung menuju kamarnya begitu tiba di rumah. Ia duduk di tepi ranjang dan membuka lipatan surat itu dengan penuh antusias. Hatinya berdebar saat membaca setiap kata yang Andi tuliskan, terutama ketika ia sampai pada bagian puisinya.


Puisi Andi untuk Devi:


"Di balik senja yang menghilang perlahan, 

Lihat selengkapnya