Cinta Bersemi di Kolong Jembatan Miring

Andika Paembonan
Chapter #18

Bab 18: Apel Pertama di Malam Minggu

Sabtu malam itu terasa berbeda dari malam-malam lainnya. Ada kegugupan yang menyelimuti Andi sepanjang hari. Ia sudah merencanakan untuk mengajak Devi keluar untuk pertama kalinya, sebuah momen yang sangat ia nantikan. Ini adalah apel pertama mereka, sebuah tradisi di mana seorang pria mendatangi rumah perempuan pada malam Minggu untuk mengobrol dan mengenal keluarganya lebih dekat. Apel merupakan sebuah simbol kedewasaan bagi Andi, bahwa ia siap menunjukkan keseriusannya terhadap Devi, meskipun mereka masih remaja.

Sejak siang, Andi sudah mempersiapkan diri. Ia mengenakan baju terbaiknya, kaos polo biru tua dengan celana panjang hitam yang rapi. Meskipun tampil sederhana, ia merasa penampilannya cukup baik untuk malam ini. Ia bahkan sempat berkaca berulang kali, memeriksa apakah rambutnya terlihat rapi dan apakah ia sudah terlihat cukup dewasa untuk datang ke rumah Devi.

Saat matahari mulai terbenam, kegelisahan di hati Andi semakin bertambah. Setiap menit terasa lebih lama dari biasanya. Rasa tak sabar sekaligus gugup membuat pikirannya berlarian ke berbagai kemungkinan. Bagaimana jika ia salah bicara? Bagaimana jika Devi merasa tidak nyaman? Bagaimana jika keluarga Devi tidak menyukainya?

Namun, Andi mencoba menenangkan dirinya. Ini bukan pertemuan pertama mereka, dan Devi jelas sudah menunjukkan bahwa ia menyukai Andi. Tapi tetap saja, apel pertama di malam Minggu ini punya makna yang lebih besar. Ini bukan hanya tentang perasaan mereka berdua, tapi juga tentang penerimaan dari keluarga Devi.

Pukul tujuh malam, Andi akhirnya memutuskan untuk berangkat. Ia menempuh jalan setapak menuju rumah Devi dengan hati yang berdebar-debar. Malam itu cerah, bintang-bintang bertaburan di langit, seolah ikut merestui pertemuan mereka. Udara malam yang sejuk membuat suasana semakin tenang, meski di dalam hati Andi, segalanya terasa berputar cepat.

Ketika sampai di depan rumah Devi, Andi berhenti sejenak. Rumah Devi terletak di pinggir desa, dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang memberikan nuansa asri. Rumahnya tidak terlalu besar, tapi terawat dengan baik. Ada taman kecil di depan rumah dengan bunga-bunga yang tumbuh rapi. Dari kejauhan, Andi bisa melihat lampu teras rumah yang menerangi halaman depan dengan lembut. Jantungnya berdegup kencang.

Ia menarik napas dalam-dalam dan memantapkan langkahnya. Tiba di depan pintu, Andi mengulurkan tangan, mengetuk pintu dengan tiga ketukan ringan. Tidak lama kemudian, pintu terbuka, dan di sanalah Devi, mengenakan gaun sederhana berwarna pastel, rambutnya tergerai rapi di bahunya. Devi tersenyum lembut melihat Andi, dan senyuman itu berhasil sedikit meredakan kegelisahan yang ada di hati Andi.

“Andi, silakan masuk,” kata Devi sambil membukakan pintu lebih lebar.

Andi melangkah masuk dengan hati-hati. Ruang tamu rumah Devi terasa hangat dan nyaman, dengan perabotan yang tertata rapi dan dinding berwarna krem yang memberikan kesan tenang. Di satu sisi, ada beberapa foto keluarga yang tergantung di dinding, memberikan sentuhan pribadi pada ruangan.

“Orangtuamu ada di rumah?” tanya Andi, merasa bahwa sudah menjadi bagian dari kesopanan untuk bertanya.

Devi mengangguk. “Iya, mereka di dapur, sedang menyiapkan minuman untuk kita. Mereka tahu kamu akan datang.”

Mendengar itu, jantung Andi kembali berdegup cepat. Ini berarti ia akan bertemu dengan orangtua Devi untuk pertama kalinya dalam situasi yang formal. Meski ia sering melihat ayah dan ibu Devi dari kejauhan saat mengantar atau menjemput Devi di sekolah, pertemuan kali ini terasa berbeda. Ini adalah momen di mana mereka akan benar-benar berbicara, mungkin juga menilai seberapa serius Andi terhadap anak mereka.

Lihat selengkapnya