Tabuhan hadrah memecah kesunyian pagi. Kerabat keluarga Raden Bagus Abdur Razaq sudah datang. Mereka berjalan beriringan memasuki pelataran rumah sambil membawa sajadah, mukenah, dan mahar yang diminta Yani, panggilanku kepada Raden Ajeng Handayani, sang mempelai wanita.
Serempak, seluluruh kerabat yang hadir akiyem, berselawat kepada Nabi Muhammad dengan iringan hadrah. Syita menyemprotkan minyak wangi untukku dan satu per satu kepada seluruh kerabat wanita yang sedang berselawat. Aku menggeggam tangan Yani dengan penuh haru. Sebentar lagi, dia akan memasuki gerbang baru bersama Razaq, menapaki kehidupan baru sebagai seorang istri. Prosesi lantas dilanjutkan dengan lantunan pembacaan ayat suci Al-Qur'an dari seorang hafiz.
Nom Kamil, paklikku, membacakan ijab yang hanya bisa kudengar suaranya. Kemantapan kalimat beliau sangat selaras dengan penampilannya yang kulihat tadi. Nom Kamil begitu gagah mengenakan sarung berwarna biru gelap yang dipadukan dengan baju polos biru langit, dasi biru dongker, dan jas berwarna hitam. Pakaian khas yang digunakan para lelaki dalam acara penting di Sumenep.
"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur."
Kalimat qabul Razaq diikuti kata sah yang menggema dengan khidmat. Syita menuntun Yani ke luar dari kamar menuju serambi yang telah dihias dengan dekorasi. Pun demikian dengan Razaq. Mereka yang telah halal dalam ikatan pernikahan kini bertemu untuk melakukan sungkeman kepada orang tua dan mertua, memohon keberkahan atas pernikahan yang telah dilangsungkan.
"Giliranmu kapan, Sas?"
Aku tersenyum hambar menanggapi kalimat Syita. Pertanyaan itu sudah terlalu sering aku dengar. Bukan baru sekali dua kali, Syita maupun keluarga yang lain memberikan pertanyaan serupa. Usia dua puluh empat tahun bagi mereka adalah usia yang sangat terlambat untuk menikah bagi seorang perempuan.
Bukan aku tidak ingin menikah. Aku ingin. Sungguh ingin dan sangat ingin. Faqih Syafiq Wijaya. Nama itu masih sangat ramah menyapa hatiku. Namanya masih sangat melekat dan sama sekali tidak bisa digantikan oleh siapa pun. Impian menikahku hanya dengannya. Aku telah menutup rapat hatiku untuk laki-laki lain. Aku hanya mau menikah dengannya.
"Kamu bujuk dia, Syita. Biar mau nikah dengan Syafril."
Aku terperangah mendengar interupsi ebhu, panggilanku pada ibu. Hatiku sudah terlalu jengah mendengar permintaannya. Sudah sangat sering kukatakan bahwa aku hanya menganggap Syafril sebagai saudaraku. Tidak lebih. Namun, ebhu terus saja mengulang keinginannya.
Aku dan Syafril memang masih ada ikatan saudara. Kami satu canggah dari Raden Bagus Khaerudin, sosok bangsawan yang merupakan keturunan dari Sultan Abdurrahman Pakunataningrat, Adipati Sumenep dengan gelar Panembahan Notokusumo ke II. Itulah sebabnya aku memiliki gelar Raden Ajeng yang tersemat di depan namaku, Raden Ajeng Sasmaya Kamala.
Penyematan gelar ini sama sekali bukan untuk pamer. Namun, menjadi doa yang disandangkan pada anak cucu Raja Sumenep dinasti terakhir. Harapannya, agar segala tindakannya melihat dan mengacu pada aturan agama.
"Iya, Sas. Kurang apa Mas Syafril itu?"
Aku berdecak. Enggan menjawab. Aku memilih bergabung bersama kerabat lain, menikmati hidangan yang sudah disediakan. Sate dan gulai adalah makanan khas yang selalu ada pada sajian walimah urusy. Sementara pada acara resepsi pernikahan yang akan digelar besok malam, makanan yang wajib hadir adalah cake (dibaca sesuai ejaan).
Sepintas, jika dilihat dari permukaan, cake mirip dengan capcai. Cake terdiri dari irisan kentang yang sudah digoreng, bakwan udang, kacang polong, brokoli, seledri, irisan ayam kampung dan daging yang dipotong segi empat menyerupai dadu. Semua bahan tersebut kemudian disiram kuah yang gurih. Rasanya nikmat, ada sedikit manis dan asam. Namun di sisi lain ketika mencicipi potongan itu berubah menjadi gurih renyah yang membuat ketagihan.