"Sas, kamu nanti pulangnya sama Syafril!" titah ebhu tegas.
"Ta--"
"Jangan menolak!"
Aku mengatupkan bibir. Urung melontar protes.
Ebhu segera menarik tanganku begitu aku menandaskan puding, makanan penutup yang disajikan terakhir. Semua makanan di piring masing-masing harus benar-benar habis tidak bersisa. Kami sangat pantang menyisakanan makanan. Mubazir.
Syafril tersenyum mengangguk begitu aku telah sampai di hadapannya. Dia mengambil tangan ebhu dan mencium punggung tangannya dengan hormat.
"Titip Sasma," kata ebhu.
"Engghi." Dia mengiyakan.
Kami berlalu dari ebhu setelah mengucap salam. Syafril membawaku di belakang boncengannya. Motor melaju sedikit pelan.
"Mau ke mana, Mas?" tanyaku menyadari ini bukan jalan menuju rumah.
"Taman Bunga."
Meski aku tidak mengerti untuk apa kami menuju ke sana, aku tidak membantah. Pilihan menuju Taman Bunga bagus juga. Mungkin sedikit banyak akan mengembalikan mood-ku yang sedang tidak baik gara-gara semua kejadian di rumah Yani tadi.
Untungnya aku tadi tidak berdandan menor. Aku merias wajahku senatural mungkin, meski mendapat protes dari ebhu. Kebiasaan di sini, saat menghadiri pesta pernikahan itu menggunakan pakaian mewah semacam kain brokat. Sementara aku hanya mengenakan baju batik biasa saja yang kupadankan dengan celana panjang hitam.
Dengan pakaian dan riasan ini, aku tidak terlihat mencolok meski baru pulang dari hajatan pernikahan. Sementara Syafril memakai baju koko dengan bawahan sarung. Juga tidak mengapa. Sarung di sini sangat lumrah digunakan ke mana saja.
Taman Bunga terletak di jantung kota, berhadapan langsung dengan Masjid Jamik, masjid tertua dan terbesar di Sumenep. Taman Adipura ini begitu asri, indah dan rindang dengan berbagai macam tanaman hias yang sengaja ditanam oleh pemerintah Kabupaten Sumenep.
Aku memilih tempat duduk menghadap tugu adipura yang terletak tepat di tengah taman.
"Apa kabar Malang?" Syafril memulai pembicaraan.
"Baik."
"Sampai kapan di sini?"
"Lusa sudah kembali."
Tidak ada tanggapan. Aku pun diam, menatap lurus tugu yang berdiri tegak menjulang ke atas. Ia terlihat sangat kokoh. Berbeda dengan malam hari yang biasanya banyak pengunjung, pagi menjelang siang seperti ini Taman Bunga sangat lengang.
"Mas," panggilku.
Syafril menyahutiku dengan deheman dan kepalanya yang sedikit condong melihatku.
"Ebhu membahas soal perjodohan itu lagi."
"Aku tahu," katanya.
"Lalu gimana?"
"Kamu maunya gimana?"
Syafril mengembalikan pertanyaanku untuk kujawab sendiri. Aku berdecak. Jengkel. Bagaimana pun, aku ingin tahu apa pendapatnya. Selama ini, dia tidak menunjukkan keberatan, tapi tidak juga menyetujui.
"Aku menganggapmu sebagai masku."
"Karena kamu memang adikku."
Syafril tertawa terkekeh-kekeh. Dia mengubah posisi duduknya, kembali menghadap pada tugu adipura. Kedua tangannya disedekapkan di dada. Beberapa saat kami terdiam.