Sepeninggal Rian, aku dan Syafril kembali berjalan bersisian. Tidak lagi berkejaran seperti tadi. Kami berjalan di tepi Pendopo Agung. Hingga kini, Pendopo Agung masih digunakan pada beberapa kegiatan besar kabupaten.
"Kamu tahu banyak tentang museum ini, Mas?"
"Nggak banyak, tepi melebihimu, aku rasa."
Aku mencibir, sementara dia tertawa terkekeh-kekeh. Aku memang cuek dan seolah menutup mata terhadap sejarah Sumenep. Namun, bukan berarti aku tidak mengerti tentang adat dan kebiasaan yang berkembang di sini.
Sejak aku tinggal di Malang, rasanya aku lebih nyaman di sana dibanding di tanah kelahiranku ini. Aku jarang pulang. Kesibukan di kampus aku jadikan sebagai alasan. Padahal aku sebenarnya hanya malas saja. Kepulanganku kali ini karena Yani menikah. Itu saja. Sebagai seorang sepupu, tidak pantas jika aku tidak menghadiri hari bahagianya. Yani berusia dua tahun di bawahku. Dia baru lulus S1 dari Universitas Wiraraja beberapa saat yang lalu. Tutup buku, buka terop. Berbeda denganku yang lebih memilih melanjutkan kuliah lagi dan mengesampingkan keinginan ebhu dan rama agar aku segera menikah.
"Mas, di pemandian tadi ada tiga pintu kan ya? Itu gimana, sih?” tanyaku. Teringat tadi Syafril menyebutkan pintu satu.
"Makanya jangan keburu lari. Ayo masuk sana lagi."
"Nggak!" jawabku cepat. Mengurungkan niat Syafril yang akan berbalik arah menuju Pemandian Potre Koneng.
"Orang-orang turun untuk wudu di sana, melalui pintu sesuai dengan apa yang diinginkannya."
Aku tahu itu. Aku tidak akan kabur tadi jika tidak mengerti. Aku hanya ingin bertanya lebih jauh untuk apa Syafril menyuruhku masuk. Pintu satu diyakini mempermudah mendapatkan jodoh dan keuturunan, pintu dua meningkatkan karir kepangkatan, dan pintu tiga dapat meningkatkan iman dan takwa.
"Kamu tadi nyuruh aku melakukan itu berarti kamu percaya dengan mitos itu, Mas?"
Syafril mengangkat bahunya. "Aku hidup di sini. Hidup dengan adat-istiadat yang berkembang di sini."
"Jadi kamu percaya apa nggak?" Aku mengulang pertanyaanku karena Syafril tidak menjawab sesuai dengan yang kutanyakan. Dia selalu begitu. Tidak pernah menjawab dengan tegas. Kali ini pun, pertanyaanku dibiarkannya saja tanpa jawaban.
Kami berdiri di depan bangunan kamar ratu dan raja. Pintu itu ditutup rapat. Pengunjung hanya bisa melihatnya dari depan jendela kaca.
"Kita nggak bisa masuk, ya?" tanyaku. Seingatku, aku dulu pernah masuk ke sana.
"Kamu ingin masuk?"
"Nggak juga sih."
"Dulu, semua pengunjung bebas masuk dan melihat kamar raja dan ratu. Tapi, karena pernah ada kejadian kebakaran yang disebabkan oleh puntung rokok pengunjung, akhirnya pintu itu ditutup."
"Eh? Kebakaran?" Aku tidak pernah tahu tentang ini.