Tibalah hari ini, aku kembali ke Malang menggunakan travel. Tepat jam enam pagi, travel menjemputku di rumah, Desa Molokan Kecamatan Kota, Kabupaten Sumenep.
"Kita ketemu lagi."
Tidak kuhiraukan kalimat sumbang yang keluar dari mulut penumpang di sebelahku. Pikiranku sedang penuh dengan berbagai hal. Harapan keluarga yang tidak pernah sirna meski telah kupatahkan keinginannya.
Aku manusia biasa, aku punya cita-cita. Aku tidak ingin terus terkurung dalam kemegahan istana yang dibuat orang tuaku. Aku ingin mengepakkan sayap, hidup di dunia luar yang bebas. Aku ingin bermanfaat untuk banyak orang. Bukan sekadar duduk manis layaknya putri raja.
Mobil bergerak ke luar dari Sumenep membawaku dengan segenggam harapan.
"Kamu kerja di Malang, Sasmaya? Atau kuliah lagi?"
Mau tidak mau, aku menoleh. Mendengarnya menyebut namaku. Aku terlonjak seketika, melihat siapa yang duduk di sebelahku.
"Lupa lagi sama aku?"
Mobil travel yang kami tumpangi berisi enam orang. Aku duduk di belakang sopir dan ternyata Rianlah yang duduk di sampingku.
"Beneran lupa?" Dia memicingkan matanya dengan kepala meneleng. "Kamu nggak amnesia kan?"
Aku berdecak. "Nggak lah."
"Nanti kalau ketemu lagi berarti kita jodoh."
Aku memutar bola mataku malas. Rian malah tertawa terkekeh-kekeh. Manusia di sebelahku ini sungguh ajaib. Jodoh dari Hongkong? Dia tidak lebih dari orang yang pernah kukenal dulu dan bahkan sudah kulupakan sekarang. Artinya, dia tidak berarti bagiku.
"Kerja apa kuliah, Sasmaya?"
Menjengkelkan. Apa peduli dia sebenarnya untuk tahu aku kerja atau kuliah. Kami dulu tidak pernah akrab. Hanya sekadar tahu nama saja. Tidak lebih.
Enggan mengacuhkan orang di sebelahku, aku mengambil ponsel dan memainkannya. Menggulir postingan instagram, facebook, dan browsing segala hal yang sebenarnya tidak aku butuhkan. Aku hanya ingin terlihat sibuk saja. Malas berbicara dengan Rian.
"Faqih apa kabar?"
Rasanya aku ingin menyumpal telingaku. Atau bahkan lebih baik jika mulutnya saja yang aku sumpal. Untuk apa pula dia menanyakan tentang Faqih.
"Masih sama dia?"
Tidak ada pilihan lain. Aku mengambil headset dan terang-terangan menunjukkan di depannya bahwa aku memasang benda itu di kepalaku. Tidak ketinggalan, kusunggingkan senyum mengejek.
Bagaimana bisa ada manusia semenyebalkan dia?
Jika di rumah Yani aku diam saja menghadapi mulut-mulut sumbang, itu karena aku berhadapan dengan keluargaku. Tetapi, kali ini aku berhadapan dengan orang yang hanya kutahu namanya. Jadi, jangan harap aku akan diam. Tidak kubalas mengomel saja sudah bagus.
Secarik kertas disodorkan tepat di atas pangkuanku. Pelakunya siapa lagi jika bukan manusia aneh di sampingku.
Maaf
Mau tidak mau, aku menoleh. Rian menangkupkan kedua tangannya. Selukis wajah dengan senyum tersungging menampilkan deretan giginya yang rapi.
"Please."
Melihat wajah memohon itu, aku akhirnya melepas headset, lalu kupukul tangannya yang terulur mengajakku bersalaman.
"Jangan cerewet lagi," ketusku.