Raden Ajeng Sasmaya Kamala

Dyah Ayu S.C.
Chapter #5

5. Permintaan Kanjeng Ebhu

Tiga tahun yang lalu, Lyra mengenalkanku pada Faqih. Sesosok laki-laki yang sangat rupawan. Aku hingga tercengang di awal pertemuan.

"Sasmaya," tanganku bergetar saat berkenalan dengannya.

Faqih menyambut hangat uluran tanganku. Senyumnya mengembang dengan lekuk sempurna. Aku seolah melihat malaikat turun dari kayangan. Sungguh, aku begitu terpikat pada pesonanya.

Kami satu fakultas, tapi beda jurusan. Aku Pendidikan Matematika, sementara dia Pendidikan Kimia. Kami sama-sama angkatan 2013 dan saat itu sedang menempuh semester lima.

Faqih tidak hanya tampan. Dia juga baik. Sama baiknya dengan Syafril. Namun, entah karena aku tidak memiliki kenangan masa kanak-kanak dengan Faqih, aku tidak menganggap Faqih sebagai kakakku.

Faqih dengan mudahnya menguasai hatiku, menempati posisi orang terkasih sejak pertama kami berkenalan.

Love at first sight. Kira-kira itulah kalimat yang tepat untuk melukiskan perasaanku padanya.

Setelah berkenalan dan bertukar nomor telepon, Faqih menjadi rajin berkirim pesan WhatsApp padaku. Pagi, siang, malam, layaknya minum obat. Dia rutin menghubungiku. Tidak ada kalimat manis. Hanya sekadar kalimat template biasa.

Faqih: Lagi ngapain Sas?

Sasmaya: Sarapan.

Dihubungi begitu saja, rasanya aku sudah bahagia bukan main. Sudah seolah mendapat durian runtuh.

Faqih: Hari ini ada kuliah jam berapa?

Sasmaya: Siang nanti jam 1.

Faqih: Wah enak dong bisa malas-malasan dulu. Aku masuk jam 08.40 nih.

Sasmaya: ya udah segera berangkat. Nanti terlambat.

Benar-benar obrolan hambar sebenarnya. Obrolan tidak penting yang membuat kupu-kupu di perutku beterbangan.

Masa itu belum ada hubungan khusus antara aku dan Faqih. Kami hanya kerap bertukar pesan. Itu saja. Meski kalimat rama yang memintaku untuk tidak menjalin hubungan dengan orang luar terus terngiang, aku mencoba tidak peduli. 

"Nggak usah pacar-pacaran di sana. Kamu harus menjaga darah biru yang mengalir di tubuhmu."

Aku tidak pernah membantah perkataan rama. Tidak boleh dan tidak sopan. Semua titahnya, entah itu salah atau pun benar harus diiyakan. Oleh siapa pun. Termasuk aku. Aku mengiyakan, tapi tidak mematuhinya.

Aku tidak menghindar kala Faqih mendekat. Bahkan justru aku lebih mendekat lagi. Kubiarkan cintaku jatuh sejatuh-jatuhnya pada aktivis kampus itu.

Obrolan basa-basinya telah menjadi candu buatku. Pernah, suatu ketika Faqih disibukkan dengan kegiatan kemahasiswaan. Aku tidak dihubunginya hampir seharian. Kala itu, rasanya aku seperti kehilangan emosi baikku. Semua orang tampak menyebalkan. Semua yang kutemui ingin kumarahi. Padahal mereka tidaklah salah. Jadi benar, bahwa pesan-pesan Faqih seperti obat bagiku. Obat yang menentramkan jiwa. 

Faqih: Sudah berangkat kuliah, Sas?

Sasmaya: Sudah di kelas. Dosenku sudah datang.

Faqih: Gitu ngapain kamu balas chatku?

Sasmaya: Hanya ingin

Faqih: Sas...

Sasmaya: Apa?

Faqih: nggak jadi

Sasmaya: apa sih?

Faqih: Nanti saja habis kuliah

Lihat selengkapnya