Raden Ajeng Sasmaya Kamala

Dyah Ayu S.C.
Chapter #6

6. Perbedaan Kiai Faqih

Tanpa pemberitahuan, Faqih datang ke tempat kosku tepat pukul 06.45. Aku yang saat itu ada jadwal kuliah pagi, sudah bersiap berangkat. Faqih mengantarku. Hanya mengantar karena dia tidak ada jadwal kuliah hari ini. 

Seharusnya dengan cuaca pagi yang masih bersih, aku dapat menghirup udara segar dengan leluasa. Namun, nyatanya tidak. Debar jantung yang bertalu membuatku kesulitan untuk bernapas dengan baik.

"Nanti selesai kuliah jam berapa, Sas?"

"Delapan empat puluh. Cuma dua SKS."

"Aku tunggu di BEM ya. Nanti kabari kalau sudah ke luar kelas."

Aku mengangguk dan segera masuk saat kulihat langkah dosenku mendekat. Saat itu, aku rasanya ingin menanyakan ada apa hingga dia mengantarku sampai ke depan kelas.

Aku tidak bisa berkonsentrasi pada diskusi yang sedang berlangsung. Di saat teman-teman membicarakan tentang Pengembangan Kurikulum Pembelajaran Matematika, aku justru mebuat coretan-coretan di kertas yang entah apa isinya. Pikiranku melayang tidak tentu arah.

Perasaanku mengatakan bahwa Faqih akan menyatakan cinta. Aku yakin, Faqih punya rasa yang sama denganku. 

Perkuliahan pun berlalu dengan aku yang tidak memperoleh pengetahuan baru. Hanya ragaku saja yang datang mengikuti pembelajaran, tapi pikiranku tidak.

"Sarapan, Sas?" Aku mengangguk. "Sekalian ke Splendid, ya?"

"Eh?" Bantinku bersorak. Faqih akan mengajakku ke Pasar Bunga Splendid. Tumben sekali. "Boleh," ucapku sebelum dia berubah pikiran.

Di belakang boncengan Faqih, aku tersenyum semringah. Hatiku sungguh berbunga-bunga. Aku bahagia. Sangat. Aku membayangkan, Faqih akan menyatakan perasaannya sambil memberiku bunga. Pasti sangat romantis.

Usai sarapan, dalam perjalanan menuju Splendid, kami berbicara banyak hal. Hingga satu kalimat Faqih yang membuatku tercengang. Anganku jatuh terjembab.

"Aku mau lihat-lihat burung, Sas. Kamu suka burung juga nggak?"

Jadi ternyata, Faqih mengajakku ke Pasar Burung Splendid. Bukan ke pasar bunganya. Kedua pasar ini terletak berdampingan di Jalan Brawijaya. Aku menarik napas panjang, menenangkan diri. Faqih selamanya akan tetap menjadi Faqih. Hambar dan ya seperti itulah. 

Segera kubuang semua khayalan yang tadinya bermunculan. Aku tidak akan lagi berangan dan memikirkan segala hal yang manis atas perbuatan Faqih. Tidak mungkin terjadi. Maka, kuenyahkan semua harapan yang tadinya melambung begitu tinggi. 

Faqih lantas bercerita tentang burung-burung piaraannya yang tidak kutimpali dengan antusias. Aku sudah terlanjur kecewa. 

"Sas, aku ingin kita nggak hanya berteman."

Lihat selengkapnya