Sore menjelang. Nyatanya, aku tidak punya kesempatan untuk menelepon Faqih. Ebhu mengajakku membuat kue kering. Tidak ada pilihan lain, maka aku memilih menghubungi Faqih melalui pesan WhatsApp.
Sasmaya: Aku nggak bisa telepon.
Faqih: Aku kangen kamu, Sas.
Sasmaya: Aku juga.
Faqih: Apa?
Sasmaya: Kangen kamu.
Faqih: Kapan kamu kembali ke Malang?
Sasmaya: 3 hari lagi.
Faqih: Aku mau futsal, boleh?
Sasmaya: Iya tapi nanti telepon aku kalau sudah pulang futsal.
Faqih: Aku sayang kamu, Sasmaya Kamala.
Aku tersenyum semringah sembari menutup mukaku dengan kedua telapak tangan. Rasanya malu, meski tidak ada Faqih di depanku. Setelah beberapa saat aku menyelesaikan senyum, barulah aku ke luar kamar menemui ebhu.
Hingga tiba di jam Faqih biasanya pulang futsal, dia belum menghubungiku. Rasa jengkel mulai menyergap. Aku mendahuluinya menelepon. Sayangnya, hingga tiga kali sambungan, teleponku tidak juga diangkat.
Malam semakin larut. Perasaanku tiba-tiba gundah. Tidak biasanya Faqih tanpa kabar. Dia hampir tidak pernah tidak mengangkat teleponku.
Ponselku baru berdering saat aku telah bersiap untuk tidur.
"Faqih, kamu ke mana saja?"
Tanpa salam, aku langsung mengomelinya begitu sambungan telepon tersambung.
"Sasma, saya pakliknya. Faqih sedang diotopsi."
"Otopsi?"
"Faqih mengalami kecelakaan. Motornya diserempet truk."
Aku tertunduk, mencengkram selimut dengan erat. Bibirku bergetar, tapi tidak ada kata yang mampu kuucapkan. Hanya tetes air mata yang turun membasahi pipi.
Dadaku terasa sesak. Sakit sekali seolah ada pisau yang menancap-nancap dan menumbuk jantungku. Aku ingin menjerit sekeras-kerasnya. Namun, hal itu tidak mungkin kulakukan.
Maka kupejamkan mata, berharap aku bisa segera tidur dan terlelap agar rasa sakit di dada tidak lagi kurasakan.
Aku berharap pagi segera datang dan apa yang kualami hanyalah mimpi. Berulang kali aku cek ponselku, berharap benda itu berdering menunjukkan panggilan dari Faqih lalu ia mengatakan bahwa ia tertidur hingga tidak sempat meneleponku.