Sehari setelah kedatangan Ismi ke rumah sakit, polisi datang dan memberitahu jika para pelaku percobaan pembunuhan itu sudah berhasil tertangkap berkat kerja keras dan keterangan yang kuberikan pada mereka.
Keterangan dari saksi lain juga sudah di dapat sebelum mereka menanyaiku, yah ... Enzy. Ialah yang termasuk orang berjasa dalam kejadian ini. Pertama ia menyelamatkanku, mengambil langkah tepat, kemudian membantu proses pencarian para pelaku itu.
Namun, sampai saat ini aku masih belum bertemu dengannya, setidaknya aku ingin mengucapkan terima kasih karena bantuannya ini.
Oh, ya. Tentang Ismi. Kebingungan itu akhirnya terpecahkan. Saat aku menyadarinya, aku bahkan tak bisa berhenti tersenyum seharian seperti orang gila.
Rasa sakit runtuh! Cinta memang obat yang paling manjur dari berbagai macam penyakit.
Ismi mengatakan kalau ia akan menjawab itu jika aku lulus kuliah nanti. Tak salah lagi, itunya itu berarti adalah itu. Sesaat berpikir keras mengenai itu, keringat dingin menyerbu seolah tengah mengaduk adonan dodol.
Bodohnya aku ya ... itu.
Kenapa aku hanya bisa terpenganga saat Ismi memberikan kode alam tentang perasaannya. Para wanita faktanya memang selalu ingin dimengerti, tapi alangkah bodohnya aku tak langsung mengerti jika Ismi berkata akan memberikan jawaban tentang perasaannya nanti setelah lulus kuliah.
Apa aku akan diterima? Atau?
Aku mengacak belakang rambut asal, rasanya ingin kulompat saja tahun ini ke tahun berikutnya jika bisa.
"Argh! Kenapa harus menunggu selama itu? Kalau begitu, bukan hanya Ismi yang menunggu tapi aku juga."
Merutuk kian tak berguna, cinta juga takkan datang dengan sendirinya jika tak ada usaha sama sekali. Termasuk syarat yang diberikan Ismi padaku.
Ia akan menunggu sampai hari itu tiba, dan tugasku adalah memenuhi syaratnya.
Membenarkan posisi sandaran tubuh di bed stretcher, pikiranku melayang jauh pergi ke tempat Ismi.
Kata Kak Athaya, Ia masih diperbolehkan tinggal di rumah kakek dan nenek. Yang belum bisa terjelaskan secara lengkap bagaimana itu bisa terjadi.
Tapi ya sudahlah, yang terpenting kesempatan yang kupunya juga masih tetap sama, aku bisa mengunjunginya setiap hari minggu. Ah, tak sabar rasanya.
BRAK'
Aku tersentak kaget saat mendengar pintu dibanting keras. Otomatis lamunan buyar seketika dan mataku tertuju ke arah sumber suara, kupikir itu Ibu atau Ayah. Tapi ternyata bukan.
Mataku menyipit, ia seorang gadis dengan setelan celana jeans dipadu dengan kaos berwarna cokelat, rambutnya yang panjang lurus ia ikat rapih. Dilengkapi dengan aksesoris gelang kulit yang melingkar di tangan putih bersihnya juga sebuah topi yang dibalik ke belakang.
Tomboy sekali.
Ia masih belum menoleh, malah sIbuk melongok ke arah luar seolah sedang bersembunyi dari seseorang.
"Siapa kamu?" tanyaku.
Dia spontan berbalik arah, tubuhnya menempel di daun pintu. Ia kaget sendiri dengan pertanyaanku.
"Jangan berisik! Nanti mereka akan datang lagi ...." Ia berbisik.
Mengernyit tak mengerti, aku berpikir pasti ia memang tengah dikejar oleh orang lain.
"Keluarlah dari kamarku, aku sedang tidak ingin mendapat masalah lagi."
Akhirnya ini kekejaman pertama yang kulakukan, sebenarnya aku kapok berada dalam masalah yang berhubungan dengan preman. Aku sadar diri, tak memiliki kemampuan untuk menjaga diri itulah sebabnya aku hanpir mati.
"Huaaa ... mereka datang ...!" Gadis itu berteriak keras.
Cepat lariannya menuju ke arahku.
BRUG'
SRAK'
Ia meloncat ke atas tempat tidur dan lalu menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya. Ia bersembunyi di balik selimut tepat di kakiku.
Sontak saja aku terperanjat kaget dan melipat kakiku. "Eh, apa yang kamu lakukan? Kamu sangat tidak sopan berada di tempat tidurku! Turun ...!"
"Tidak ...!"
Aku kesal. Mencoba menarik selimutku, tapi gagal karena ia sangat kuat mengeratkan pegangan tangannya.
"Turun ...!"
"Tidak ...!"
Dadar gulung! Kenapa ia begitu kukuh ingin bersembunyi di balik selimutku?
Terpaksa harus jalan pintas, sungguh aku tak ingin jika Ibu atau yang lain datang dan melihat keadaan ini. Mereka pasti akan salah paham lagi padaku.
Kugerakkan kaki ke arahnya, menyingkirkan tubuhnya dengan satu hentakan. Tak keras juga tak mendendang, kakiku hanya perwakilan tangan yang masih belum bisa kugunakan.
"Huaaa ...." Ia berteriak.
BRUG'
Tubuhnya terjatuh kelantai beriringan dengan selimut yang menggulung bersamanya. Ia meringis kesakitan memegangi sikutnya yang membentur lantai.
"Kenapa kau menendangku?! Ini sakit tahu ... sakit!" bentaknya. Menatapku dengan kesal seraya mendengkus.
"Itu karena kamu tidak sopan. Cepat pergi sanah ...."
Tiba-tiba matanya memutar arah dan mengabaikan perintahku lagi. Seolah benar ketakutan ia kembali melebarkan selimut dan menutupi seluruh tubuhnya hingga hanya bagian mata saja yang terlihat.
Aneh.
"Kau pasti sedang dikejar preman, kan?" tanyaku.