KISAH GADIS BISU DAN TULI

Aydhaa Aydhaa
Chapter #11

Hubungan

Apa kau tahu Ismi? Kamu memang bisu dan tuli, tapi justru karena itulah aku begitu menyukaimu. Saat cinta itu hadir dalam hati, dan saat semua orang menganggap kekuranganmu sebagai kesusahan bagi mereka. Tapi satu keyakinanku tentang kamu adalah ... Allah menyayangimu dengan caranya sendiri.

 Kasih sayang-Nya telah menyelamatkan pendengaran dan lisanmu dari dunia luar yang bisa saja menjerumuskan.

Tak pernah terlintas di masa kecil saat pertama kali menginjakkan kaki di zona bebas, akan menemukan gadis sepertimu di masa dewasa.

 Tak pernah satu detik pun waktu terlewat tanpa memikirkanmu, meski telah berulang kali nyawa hampir terlepas dari tubuh.

 Kian lamanya waktu serta jarak memisahkan kita, tak mampu mengurangi perasaanku terhadapmu. Kian besarnya penolakan keras ibu terhadapmu, namun kuyakin suatu saat nanti ia akan mengerti betapa tak ada satu hal apapun yang sempurna di dunia ini.

 Aku mencintaimu tanpa syarat.

 Itu saja.

________________

 Satu bulan sudah waktu bagai berjalan lambat tanpanya, ia yang jauh di mata malah semakin terasa di hati. Proses pemulihan yang cukup lama karena kejadian itu tak ayal mengharuskan tinggal diam di rumah dengan pengawasan ketat.

 Berangkat dan pulang kuliah dengan mobil jemputan ibu membuatku semakin merasa sangat jauh dengan gadis yang kucintai.

 Aku merindukan Ismi, namun keadaan terkadang memang tak selalu memihak pada cinta. Ibu menutup akses pada semua hal yang berkaitan dengan Ismi, ia pasti sudah sangat membencinya akibat kejadian tempo hari.

 Enzy, gadis yang berasal dari kota Jakarta itu tak jarang datang ke rumah atas ajakan ibu. 

 Apa kalian tahu?

 Kadang aku pernah berpikir kalau hidupku itu seperti cerita-cerita yang ada dalam sinetron. Mencintai seorang gadis, tak direstui, lalu dikenalkan dengan gadis lain, gadis kedua menjadi penghalang dan seterusnya.

 Mudah ditebak dan mungkin menjadi cerita yang sudah basi di kalangan masyarakat.

 Apa itu semua yang terjadi? Yah ... sebagian memang benar. Tapi Enzy berbeda. Ia tak pernah menunjukkan kalau ia peduli padaku karena satu alasan lain kecuali daripada teman.

 Sikapnya, perlakuannya dan juga tingkahnya yang mengesalkan juga masih dibatas kewajaran. Ia tak menunjukkan kalau isyarat yang diberikan ibu agar lebih dekat denganku ia lakukan sepenuhnya.

 Dan sekarang, ia sudah menjadi sahabatku. Dengan julukan si sapi ngamuk yang selalu kusebutkan saat ia mulai berbicara keras dan tiada henti.

***

 Satu hari yang sangat kutunggu itu akhirnya tiba, hari dimana aku akan bertandang ke rumah nenek di Subang, bersama ayah, ibu, Nenek Aisyah dan kak Athaya. Kami semua akan pergi ke sana karena Nenek Rosma meminta datang.

 Yah, rumah Nenek Rosma memang sering dijadikan rumah bersama bagi kami semua untuk lebih merekatkan ikatan keluarga.

 Tak khusus, tapi aku cukup bahagia karena bisa bertemu dengan Ismi. Setidaknya, pertanyaan yang bergejibun di dalam hati tentangnya akan terjawab satu hari ini.

"Arvin? Kamu sudah siap?" tanya ibu. Ia sudah bersiap dengan pakaian syar'inya yang membalut tubuh.

Aku mengangguk pelan. "Ayah mana, Bu?"

 Sambil menutup pintu dan merapihkan pakaian aku pun tak kalah gaya hari ini, ibu nampak sibuk dan bergegas mempersiapkan diri. Ia menjawab, "Ayah sudah menunggu di mobil bersama nenek, ayo kita berangkat sekarang. Kakakmu katanya sudah sampai di rumah Nenek Rosma."

 Mengangguk pelan mengerti, aku dan ibu menyusul ke sebuah mobil yang terparkir di halaman rumah.

 Mobil pun melaju dan mengarah ke tujuan, karena acara keluarga ini bengkel dan toko tutup selama dua hari sebab rencananya kami sekeluarga akan menginap di sana satu malam.

 Hahh ... kesempatan bagus!

"Ayah, nanti kita berhenti dulu di bengkel ya, ada yang tertinggal." Ibu berucap di kursi belakang.

"Apa yang tertinggal?"

"Enzy, ibu ingin mengajaknya juga."

 Aku dan ayah menampilkan ekspresi wajah yang sama, Mengernyit tak mengerti kenapa ibu ingin mengajak Enzy kesana.

"Apa ibu tidak salah? Untuk apa ibu mengajaknya? Bisa-bisa nanti dia hanya merepotkanku, Bu," ucapku.

"Arvin, apa salahnya mengajak dia? Justru lebih ramai itu lebih baik, kan? Lagipula Enzy juga sudah menyetujuinya."

 Menghela nafas dalam dan menyandarkan kepala, lagi-lagi ibu bersikap lebih pada Enzy. Ia begitu menyukai gadis itu, entah kenapa, tapi mungkin juga karena ia tak memiliki anak gadis.

 Sampai di depan bengkel, mobil berhenti di pinggir jalan karena sudah ada yang menunggu kedatangan kami. Itu Enzy, dengan gayanya yang khas ia tampak berbeda dari kami.

 Celana jeans, kemeja lengan panjang yang ia lipat rapih dengan kaos senada serta aksesoris yang tak kalah untuk menunjang penampilannya.

 Ia masuk kedalam mobil dengan sunggingan senyumnya.

"Assalamu'alaikum ...."

"Waalaikum salam, apa kamu membawa baju ganti?" tanya ibu.

"Bawa koq, oh ya. Aku juga bawa cemilan kecil untuk di mobil. Ini buat tante dan semuanya."

 Enzy mengeluarkan sebuah kantung plastik berukuran sedang dari dalam tasnya, memberikan itu pada ibu sejenak matanya mendelik kearahku yang menatapnya malas.

"Harusnya kamu tidak berpakaian seperti itu, kamu pasti akan ditelan hidup-hidup oleh nenek," ucapku tanpa melihatnya.

"Kenapa? Apa ada yang salah dengan pakaianku?"

Membalikkan tubuh ke belakang, Enzy merengut dan marah. Ayah pun sudah melajukan lagi mobilnya.

"Jelas ada, kamu itu perempuan. Dan perempuan normal itu pakai kerudung! Bukannya pakai topi ...."

"Apa? Jadi menurut kamu aku tidak normal?! Ish, kamu tuh ya ...." Enzy kesal dengan ledekanku padanya. Tangan kanannya terulur hendak menjewer telinga yang sudah siap kututup rapat-rapat.

"Arvin, berhenti mengganggunya. Kenapa kamu begitu suka membuatnya marah?" Ibu melerai.

"Suka saja, sebab kalau ia marah terlihat seperti sapi ngamuk ... moooo ...."

 Aku tertawa menirukan seekor sapi, wajah Enzy merah padam dan bola matanya hampir keluar menatapku tajam.

"Hemh, iya terus! Ledek saja aku terus sampai sukses! Telingaku sudah kebal ...!" ketus. Ia menghempas tubuhnya sendiri dan mengalihkan pandangan ke arah luar kaca.

"Cie, ada sapi marah ...," sambungku.

"Arvin!" Ibu membentak. Seketika dalam mobil menjadi hening. Hingga kami semua mengambil tema lain dalam pembicaraan sambil menuju tempat tujuan.

***

 Sesampainya di rumah nenek, ibu, ayah dan Nenek Aisyah sudah berjalan terlebih dulu ke depan pintu. Sedangkan langkahku sedikit tersendat karena Enzy tampak enggan masuk kedalam.

 Ia berdiri mematung di samping mobil dan menunduk.

"Ada apa? Ayo masuk," ucapku.

"Vin, sepertinya aku tidak bisa masuk kedalam." Enzy mengitari sekelilingnya beberapa saat sesudah itu menunduk lagi. Seolah tak ingin melihat keadaan atau memang ada yang tak ingin ia lihat.

"Kenapa? Nanti ibu memarahiku hingga satu bulan penuh kalau kau tidak masuk. Ayolah ... jangan membuat masalah lagi."

"Ck! Kamu tuh memang tidak peka ya?! Aku itu sedang ... aaa!" Marah, namun tiba-tiba menjerit. Enzy menyembunyikan tubuhnya di punggungku.

 Tangannya begitu erat mencengkram kemejaku seolah menahan takut dari apa yang ia lihat.

 Mataku pun ikut terseret arus, kuterka sekeliling rumah besar ini. Hari sudah hampir gelap dan tak nampak apapun kecuali halaman, rumput, pepohonan dan yang sewajarnya.

 Lalu apa yang Enzy lihat?

"Enzy, kalau mereka mengganggumu. Apa susahnya berdo'a? Minta perlindungan pada Allah, bukan bersembunyi di punggungku seperti ini." Menggerakkan tubuh, pegangan tangan Enzy tak terlepas.

 Ia diam, apa ia sedang berdo'a atau sedang mengatur nafas? Enzy tak bergeming di punggungku dalam beberapa detik.

"Lepas ...!"

Lihat selengkapnya