Kalimat dalam keheningan kini bagai tusukan jarum di hati. Bagaimana tidak? Ismi dengan tulusnya menerima perlakuan ibu yang kurang memberi respon positif. Dan sekarang, aku bagai lelaki bodoh yang tak tahu arah kemana langkah selanjutnya akan kubawa.
Ismi adalah gadis yang kucintai. Tapi restu ibu sepertinya akan sulit kudapatkan.
Luka fisik yang kuderita memang hampir sembuh, tapi luka di hati apa obatnya? Jika ada di dunia ini yang menjual obat itu. Maka aku akan membelinya untuk ibu agar ia tak terlalu membenci Ismi.
Orang bilang, seorang anak takkan mampu merasakan penderitaan orang tua sebelum ia menjadi orang tua. Itulah yang terjadi padaku, tak bisa mengukur seberapa dalam kebencian ibu. Ismi yang menjadi korban atas niat baik yang ingin kuberikan.
Aku tahu ibu sangat terluka mendapati anaknya rela mengorbankan nyawa demi orang lain. Tapi nasi sudah menjadi bubur, tak ada gunanya hanya memikirkan sebab dan akibat, berdo'a dan melakukan berbagai cara agar ibu bisa sedikit terbuka pada Ismi. Itu yang terbaik.
***
Derap langkah terdengar dari dalam kamar yang ditempati Enzy, ibu keluar dengan raut wajah yang masih sedikit marah ketika mendapatiku di hadapannya.
"Apa dia baik-baik saja, Bu?" tanyaku.
"Untuk apa kamu ingin tahu kabar Enzy? Bukankah hanya Ismi yang ada dalam pikiranmu?" Menutup pintu, ibu menatap sinis seraya berlalu menjauh.
Kukejar langkah ibu ingin menjelaskan apa yang terjadi. "Bu, aku mohon. Jangan selalu menyalahkan Ismi atas apa yaang terjadi, dia tidak bersalah, Bu. Semua masalah ini akulah penyebabnya, jika ibu ingin marah ibu berhak marah padaku atau ibu hukum aku sekalipun akan kuterima. Jangan memusuhi Ismi seperti ini," ucapku cepat.
"Beri ibu satu alasan kenapa ibu harus melakukannya?" Menatapku tanpa celah, ibu seolah menguji jawaban apa yang akan kuberikan padanya.
"I-itu ...."
"Itu karena Arvin sudah dewasa, Anika," sela seseorang.
Aku dan ibu menoleh bersamaan dan mendapati sosok wanita tua dengan langkah kaki yang begitu lambat menghampiri kami.
"Umi ...."
"Sebagai seorang ibu harusnya kamu menyadari hal itu, Nika. Arvin anakmu sudah bukan anak kecil lagi," sambung Nenek Rosma.
Aku diam. Sejenak ibu melirik kearahku lalu kemudian berkata. "Justru karena aku menyadarinya, Umi. Tapi sekarang yang kulihat adalah seorang anak yang tidak pernah bisa menghargai nyawanya sendiri. Justru karena aku menyayangi Arvin, itu sebabnya aku tidak mengijinkan dia bersama Ismi."
"Lalu apa alasanmu tidak bisa menerima Ismi? Apa karena dia bisu dan tuli? Atau karena kamu takut anakmu terlalu menyayanginya hingga melupakanmu?"
Ibu mulai diam. Ia tak menjawab pertanyaan yang dilontarkan Nenek Rosma padanya.
"Nika dengarlah. Jika kamu terus berpikir begitu, maka sampai kapanpun Arvin tidak akan pernah menjadi dirinya sendiri. Umi tidak akan membela siapapun, karena Umi lebih dulu merasakan itu semua saat Umi harus melepaskan Danish dan membiarkan ia memilih jalannya sendiri. Pikirkanlah baik-baik apa jalan keluar dari masalah kalian dengan tidak hanya memandang sebelah mata. Umi yakin kamu bisa melihat Ismi dari sudut pandang yang lain."
"Tapi aku tetap belum bisa menerimanya, Umi."
"Umi tidak meminta kamu untuk menerimanya, tapi yang Umi inginkan adalah keadilan di sini. Itu saja, Umi mengerti perasaanmu dan Umi juga peduli terhadap Ismi. Arvin juga sudah melakukan tanggung jawabnya dengan baik, meski apa yang ia lakukan di awal adalah salah."
Aku menunduk lesu.
Memikirkan baik-baik perkataan Nenek Rosma yang menyebutkan bahwa yang kulakukan saat awal membawa Ismi kesini saat malah hari pernikahannya adalah salah.
Ku akui, itu memang benar adanya. Tak seharusnya aku melakukan itu dengan tanpa berpikir panjang.
"Kalau begitu ... baiklah. Aku akan memikirkan hal ini lagi," ucap ibu.
Mengambil langkah pergi dari tempat ini dilakukan ibu seraya mengucap salam. Diikuti Nenek Rosma yang juga kembali ke kamarnya setelah menepuk bahuku dua kali seolah berkata.
Nenek menyerahkan sisanya padamu'.
Apa itu semangat? Ya ... itu adalah semangat. Sebuah suntikan energi yang akan membuatku lebih gigih lagi dalam memperjuangkan apa yang sudah kumulai.
***
Malam semakin larut, tapi tak satu detikpun mampu memejamkan mata. Angin berarak menerpa dan membawa udara dingin yang ditebarkan dengan menyeluruh ke setiap penjuru.
Duduk di kursi yang sengaja kuletakkan di samping jendela, menatapi langit malam di lantai dua rumah dengan bintang sebagai penghiasnya dan membiarkan udara dingin menyusup masuk kedalam pori-pori kulit.
Tiba-tiba teringat akan Ismi ketika saat pertama kali aku mulai dekat dengannya.
Ia sendiri, dan selalu menganggap bintang adalah teman dalam kesendirian. Dan berharap jika bintang itu akan mendengar setiap keluh kesah yang ia rasakan. Meski ia tahu mereka (bintang) takkan pernah mampu memberikan jawaban.
Dalam beberapa detik menatap langit, aku tersenyum.
"Sepertinya aku harus berada lebih dekat dengannya."
Bosan mulai merapat. Mata sama sekali tak bisa terpejam meski dentingan jarum jam seolah menjadi lagu pengantar tidur.
Kuputuskan keluar kamar untuk mencari udara lain. Setelah gagal cara menghitung bintang agar kantuk datang menghampiri.
Saat hendak melangkah lebih jauh, kudapati sosok yang sangat tak asing lagi nampak duduk di satu-satunya kursi yang berdiri tegak di posisi strategis taman sebelah rumah.
Ia duduk sendirian di bawah hamparan langit gelap dengan wajah sendu. Bintang yang ia katakan teman diabaikannya begitu saja, dan seolah larut dalam lamunan, ia bahkan tak menyadari keberadaanku yang tak jauh dari tempatnya berada.
"Ismi ...." Derap langkah teratur menuju pasti ke arahnya.
Ismi pun mendongakkan wajahnya sedikit karena mulai menyadari kedatangan seseorang. Ia tersenyum tipis, tapi tidak denganku.
Langkah terhenti seketika, senyuman yang sempat mengukir wajah kian luntur hampir tak bersisa saat mendapati senyuman itu bukanlah untukku.
Memundurkan kembali langkah ke belakang, Ismi memang sudah tak lagi tersenyum. Wajahnya tertunduk lesu meski kini ada seseorang yang berdiri di samping seolah ingin menghempas kesendiriannya.
Membawa dua cangkir minuman di tangannya, orang itu masih bediri mematung dan menyodorkan salah satunya. Apa itu teh? Air putih? Susu? Entahlah. Yang pasti, Ismi bersedia menerima pemberian itu dengan sedikit sunggingan senyumnya.
"Ucapan terimakasih tidak perlu ditulis, itu tidak penting." Kak Athaya berkata seraya menyeruput secangkir minuman yang ia bawa tadi. Ia duduk di sebelah Ismi.
Berdiri di balik dinding, aku merasa sebagai penguntit dadakan malam ini. Heran dengan apa yang kulihat, kenapa Kak Athaya ada di sini? Dan untuk apa ia bersama Ismi? Sedangkan yang kutahu, selama ini ia begitu mendukung ibu agar aku menjauhi Ismi.
Mengintip lagi. Ismi sudah menyimpan kembali bukunya, tak dimasukkan kedalam saku melainkan hanya ia genggam seolah buku itu sebagai alat untuk pengalih perasaannya berada di sebelah Kak Athaya.
"Mana bukumu?"
Ismi mengernyit saat Kak Athaya mengulurkan telapak tangannya, tapi belum sampai pertanyaan dijawab, Kak Athaya sudah lebih dulu meraih buku yang ada di pegangan Ismi.