Cinta ... andai saja kamu bisa mendengar. Ingin sekali kujadikan titikan air mata ini menjadi yang terakhir untukmu. Andaikan kamu bisa berucap, maka akan kudengarkan segala keluh kesahmu sampai tak bersisa lagi kesedihan itu.
"Menangislah, Is. Aku ada di sini untukmu ...."
Gugup terselip saat tangan beranjak naik meraih bahunya, Ismi masih menangis. Dan aku ingin sekali meringankan beban yang ia pikul walau kekurangan membatasi niat.
Berharap sedikit sentuhan mampu mewakilkan segala kata, tapi yang terdapat malah hal diluar dugaan. Tiba-tiba tubuhnya terasa berat di kedua tangan, dan aku mengerti betul apa yang terjadi.
Menahan bobot tubuhnya, derap nafas Ismi tak lagi terasa dan isakan itu terhenti seketika saat kusadari kedua mata indahnya terpejam di pelukanku.
"Astagfirullah, Ismi? Is? Ismi sadarlah ...!" Menggerakkan tubuhnya, Ismi tak bergeming.
Sesal menyeruak di dada, Ismi begini pasti karena perkataanku padanya tadi. Bahkan saat ini, air mata di pipinya masih tersisa dan tak mampu kuhapuskan?
Bodoh! Ini salahku! Ini salahku!
Mengutuk diri sendiri, kucoba sekuat tenaga mengangkat bobot tubuh Ismi di kedua tangan. Tapi hal itu tak mampu kulakukan karena nyeri akibat cedera di bahu masih belum pulih sepenuhnya.
"Kuat Arvin! Kuat!"
Keringat mengucur di pelipis saat kedua lengan mulai melakukan tugas paksaan yang kuberikan. Nyeri semakin mendera, langkah gontai namun pasti menuju kamar Ismi yang berada di sebelah kamar nenek.
Membuka pintu rumah dan sedikit berjalan melewati ruang tamu, jalan menuju kamar terlihat tak jauh di depan mata. Pandangan sedikit terbatas karena lampu sebagian ruangan memang sengaja dimatikan.
Nafas terengah, satu ... dua ... tiga. Langkah demi langkah hampir bisa terhitung karena saking lambatnya pergerakanku, Ismi belum juga tersadar hingga rasa khawatir semakin merasuk di setiap urat syaraf.
"Apa yang kau lakukan padanya?"
Seseorang berbicara dan aku spontan menoleh ke arahnya. Kak Athaya berdiri di depanku dengan tatapan datarnya yang khas. Ia terlihat baru saja keluar dari arah dapur dan masih membawa segelas air putih di tangannya.
"Aku ...."
Sejenak ia menatap Ismi ia meletakkan gelasnya di atas meja lalu melangkahkan kakinya lebih dekat kearahku. "Biar aku saja yang membawanya, kembalilah ke kamarmu sebelum ibu melihat ini," ucapnya.
"Tapi kak ...."
Lagi-lagi respon yang kudapat tak selalu sinkron dengan tebakan, kukira Kak Athaya akan memarahiku tapi sekarang ia malah menggantikan posisiku dan meraih tubuh Ismi.
Ia berbalik arah dan langsung melangkah, kaki dan tangan Ismi terkulai lemah dan melayang di udara menjauh bersama kedua tangan kekar yang mebawanya.
Sial'
Kenapa ini yang harus terjadi? Sesak kembali terasa ketika mereka semakin menjauh. Entah karena apa alasannya aku sendiri tak tahu. Sebab sakit fisik terasa berbeda dengan sakit hati.
Mengejar langkah Kak Athaya dan hampir saja masuk kedalam kamar Ismi, namun langkah kaki terhenti di ambang pintu karena melihat sosok yang cukup mengagetkan.
Tubuh kembali merapat ke dinding, hanya sepintas saja kulihat Ismi sudah dibaringkan di tempat tidurnya dan selimut menutup sebagian tubuhnya berkat tangan Kak Athaya.
"Apa yang terjadi?" seorang wanita berkata datar. Itu ibu.
Ia juga yang membuatku menarik langkah mundur kebelakang dan bersembunyi lagi di balik dinding. Seperti tadi, aku tak mengerti kenapa semua orang di rumah ini tak ada yang tidur? Apa mereka sengaja ingin menelisik pergerakanku di rumah ini?
"Aku menemukannya pingsan di taman." Kak Athaya berucap.
"Apa ia sendiri? Atau Arvin juga ada di sana?"
Benar saja. Ibu pasti menanyakan itu pada Kak Athaya. Akan sedikit kacau lagi jadinya bila ibu tahu kalau aku telah menemui Ismi malam ini. Kemungkinan ia akan lebih memperketat pengawasan terhadapku.
"Tidak ada ... ia sendiri." Kak Athaya menjawab dan sejenak melirik ke arahku. Ia tahu kalau aku masih berada di sini hingga kembali bersembunyi lagi.
Ibu diam. Namun tak urung membuatku terbebas dari masalah. Malam ini, dua kali aku mendapati sikap Kak Athaya yang aneh.
Ia bersedia menemui Ismi, dan sekarang baru pertama kali aku mendengar Kak Athaya berbohong pada ibu. Apa tujuannya?
Tidak.
Aku tidak boleh berprasangka buruk dulu, harusnya aku berterimakasih padanya karena telah melindungiku dari satu masalah ini.
Apapun tujuannya, sekarang Ismi sudah berada di kamar. Dan aku bisa bernafas lega.
"Ibu tidak usah khawatir, aku sudah memeriksanya di luar. Tidak ada Arvin, ia pasti ada di kamarnya," ucap Kak Athaya.
"Baiklah, maaf merepotkanmu malam-malam, Nak. Sekarang kamu pergilah istirahat, biar ibu yang menjaga Ismi. Sepertinya ia demam."
Langkah pelan pergi menjauh dari kamar Ismi, nyeri di bahuku memang masih bersisa dan terasa ngilu. Tapi bukan itu yang lebih terasa.
Yang paling terasa saat ini adalah ....
Ketika seorang Arvin Farzan Raihaan Shakeil belum mampu memperjuangkan cinta, ketika ia masih takut akan kemarahan ibu dan ketika ia membuat Ismi sakit.
Ah, kenapa sibodoh ini terus mengulang kebodohannya? Kutahu penyesalan selalu datang terlambat, dan keterlambatanku menyadarinya tak sengaja membuat air mata Ismi kembali terjatuh.
Harusnya aku memag tak mengatakan bagaimana keadaan saudaranya tadi.
Ismi ... maafkan aku.
***
Sinar matahari menyapa dengan membawa hangatnya, setiap orang di rumah ini sudah sibuk bahkan sebelum sinar itu timbul dari ufuk timur.
Kesibukan biasa, para wanita dengan urusan pekerjaan mereka di rumah dan para laki-laki disibukkan dengan membaca koran dan menyeruput kopi hangat.
Eh? Itu bukan kebiasaanku.
Kakek dan ayah yang selalu melakukan kebiasaan itu setiap pagi, mengobrol tentang pekerjaan ataupun hal lain yang membuat keduanya semakin akrab.
Kak Athaya tengah melakukan olah raga pagi keluar rumah, hidup sehat. Tapi sampai jam sembilan ia belum juga kembali. Entahlah.
Dan aku? Jangan tanya.
Yang kulakukan tak jauh dari menatapi kamar Ismi, ia belum terlihat lagi sejak tadi malam. Terakhir kudapat kabar dari Bi Sum kalau Ismi tak membuka pintu kamar meski ia telah mengetuknya berulang kali.
Ini sudah pukul sembilan, Ismi bahkan tak keluar kamar dan bahkan melewatkan sarapan bersama kami.
Apa yang terjadi?
Apa ia masih sakit? Atau ia masih bersedih dengan kabar itu. Ingin sekali rasanya aku mengetuk pintu kamar itu dan memastikan kabar Ismi. Tapi sejak tadi pandangan ibu tak pernah lepas dariku, matanya seolah menjadi rantai dalam setiap langkahku di rumah ini.
"Hai, selamat pagi ...."
Seseorang datang dan menepuk bahu, suaranya lantang dan menusuk di telinga. Enzy.
Gadis itu terlihat sumringah dengan binar cerah di wajahnya pagi ini.
Tak menjawab.
"Ada apa dengan wajahmu? Cih, kamu terlihat seperti kain lap pel yang belum diperas."
Alis berkedut, sedikit jegkel dengan ledekannya di tengah-tengah kegalauan seperti ini. Aku tak menggubrisnya.
"Vin, kenapa? Apa wajahmu itu ada hubungannya dengan Ismi?"
"Ck! Pergilah, jangan menggangguku." Melenggang pergi darinya, derap langkah Enzy terdengar mengikuti.