KISAH GADIS BISU DAN TULI

Aydhaa Aydhaa
Chapter #14

Terlambat

Saat pertama kali menginjakkan telapak kaki di rumah Ismi. Tirai putih usang berkelebatan terhempas angin disertai decitan suara yang berasal dari jendela mengusik keheningan. Perabotan masih tertata dengan rapih di tempatnya, tak ada yang berubah juga memberiku tanda seburuk apakah isi pikiran saat ini.

Langkah demi langkah menyisakan jejak tak bertuan di tanah merah dalam gubuk, mata tak henti menyusuri setiap sudut ruangan yang bahkan hanya sekejap mata aku bisa memastikan semua ini.

Ismi tidak ada.

Ia benar-benar tidak ada di sini setelah berpikir bahwa lelah akan tergantikan dengan senyuman Ismi.

Satu desa telah kutelusuri, setiap orang telah kutanyai. Namun tak ada seorang pun dari mereka yang mengetahui atau melihat keberadaan Ismi.

Dimana ia? Bagaimana kabarnya atau semua hal yang mendatangi pikiran itu terus menjadi racun yang membuatku tak bisa berpikir jernih.

Langkah kaki terhenti dengan berhentinya semangat dalam diri, merasa jadi orang terbodoh di dunia aku rasa ini adalah kebodohan terbesar yang pernah kubuat.

"Ismi ... diamana kamu? Maafkan aku, Is. Mungkin memang tidak seharusnya aku mengatakan hal itu padamu. Dasar bodoh! Kenapa aku begitu bodoh!"

Tanah merah menjadi tempat bertumpnya kedua lutut, mengeratkan telapak tangan di atas tanah ini. Segala perasaan membuncah tak bisa terbendung lagi.

Cengeng? Pecundang? Lemah? Terserah orang ingin berkata apa, aku tak peduli lagi.

Nyatanya sekarang aku memang telah gagal menjaga cinta. Aku membuatnya lari, entah kemana dan karena apa. Mungkin saja Ismi pergi bukan karena ibu, tapi karena perkataanku tentang saudara kembarnya.

"Vin, ayo kita pergi dari sini. Kita masih bisa mencarinya di tempat lain." Enzy berucap lirih.

Usapan lembut telapak tangannya di pundak semakin membuat luka melebar.

"Kemana?"

"Kemanapun! Kita masih bisa mencarinya, dan aku akan ada untuk kamu, Vin," ucap Enzy. Mengulurkan tangannya padaku seraya tersenyum manis. "Kita pasti menemukannya."

Satu.

Dua.

Tiga.

Empat.

Lima detik hanya kutatap saja telapak tangannya, tak memberi respon atas semangat yang ia berikan. Putus asa, kemana lagi harus kucari ia yang pergi. Sedangkan ini adalah satu-satunya tempat terakhir yang pasti ia datangi.

Ismi tak memiliki keluarga lain lagi, tak ada tempat untuknya kembali kecuali tempat ini. Jika ia tidak ada di sini, lalu pergi kemana dia?

"Arvin?"

Arah pandangan naik menuju dua bola mata bulat yang ada di hadapanku, senyumnya mengembang tapi acuhku memudarkannya.

Menegarkan diri sendiri dan menapak tegap kembali, langkah gontai keluar dari rumah Ismi dengan tanpa menoleh sedikitpun pada yang lain.

Larian kecil Enzy terdengar dan menghadang jalanku di luar, jelas tatapannya. Mengarah pada sepasang mata yang tak peduli.

"Vin, kenapa kamu selalu seperti ini? Mengabaikanku seolah-olah aku tidak pernah ada. Aku ini ada untuk kamu dan aku ingin berguna untuk kamu, Vin," ucapnya cepat. Meraih satu lenganku ia berkata lagi. "Coba lihat aku sekali saja, Vin. Sekali saja ... itu sudah cukup."

Sedikit tersentuh hati mendengarnya, kutahu ia marah sebab selama ini memang tak ada lagi yang kulakukan selain menggodanya hingga marah. Aku tak pernah melihatnya saat ia memberi perhatian lebih.

Aku mengabaikannya setiap saat tanpa kusadari.

"Maaf, aku tidak bermaksud begitu, Zy. Hari ini aku hanya lelah, aku ingin segera pulang ke rumah. Ayo ...."

Langkah kaki kembali membawa tubuh menuju ruang tak berkepastian, mobil masih bertengger tak jauh di depan. Waktu juga masih menunjukkan pukul setengah delapan malam, seharusnya masih ada waktu untukku mencari Ismi. Tapi Enzy juga pasti sudah lelah untuk hari ini. Aku tidak ingin mengulang kebodohan lagi dengan membuatnya sakit.

Saat berada dalam mobil, Enzy sudah memakai sabuk pengaman.

"Sekarang kemana tujuan kita?"

"Pulang."

"Pulang? Tapi, Vin. Bagaimana dengan Ismi?" tanya Enzy lagi.

"Ismi, ada satu hal lagi yang perlu kucoba untuk bisa mendapat petunjuk keberadaanya." Serius. Menyalakan mesin mobil, Enzy menatap heran.

"Apa itu?"

"Pakailah sabuk pengamanmu, karena ini akan sangat berbahaya. Atau mungkin kita berdua akan mati," jawabku.

"Apa?"

Menancap pedal gas dan melajukan mobil hingga beberapa kilometer dengan kecepatan normal di area pemukiman. Enzy terlihat tegang di sebelah.

Malam semakin pekat diselimuti awan gelap, gemericik tetesan air terjun bebas menerpa setiap penjuru. Basah dan jarak pandang mulai terbatas.

"Vin, jangan gila! Ada apa denganmu?" tanya Enzy. Kedua tangannya mengerat berpegangan. Menyadari bahwa aku menambah kecepatan di area jalanan lengang mulus beraspal.

"Bukankah tadi kau mengatakan akan selalu ada untukku? Jika begitu, ayo kita mati berdua." Datar. Ia semakin ketakutan. Menekan pedal gas lebih dalam lagi kecepatan hampir menunjukkan angka 90km/h lebih.

Menerobos apapun yang ada di depan, tak peduli lagi mobil ini akan berciuman dengan apa. Aku memang berniat akan menabrakkannya hingga mati bila perlu.

"Arvin ini sama sekali tidak lucu! Jangan bercanda seperti ini, atau kita benar-benar akan mati!"

"Itulah tujuanku," jawabku. Menambah kecepatan lagi menerobos derasnya hujan. "Ismi, jika aku tidak bisa bersamamu. Maka aku lebih memilih mati, apa kau dengar itu?"

Enzy semakin tegang, ia terus bicara agar aku menghentikan atau mengurangi kecepatan. Hampir menangis dan terus berteriak, namun aku menunggu hingga saat itu tiba.

Lihat selengkapnya