Hari terakhir di rumah Nenek Rosma.
Yah, penantian panjangku akan dimulai lagi setelah pagi ini berlalu. Tapi jawaban dari Ismi belum juga kudapat.
Tentang mengapa ia marah dan tentang kenapa ia pergi, Ismi selalu menghindar saat kuhampiri.
Bahkan wajah cemberutnya terus ia tunjukkan padaku. Entah apa alasannya.
Ketika ia menyiapkan sarapan pagi untuk kami sekeluarga, tak secuil pun senyuman Ismi merekah padaku. Sekarang yang membuatku jengkel setengah mati adalah ketika ia malah balik memberi senyum pada Kak Athaya.
Apa itu wajar? Mungkin saja.
Kak Athaya yang lebih dulu menemukan Ismi, sekarang ia juga sudah mendapat senyuman ibu yang mulai membuka hati untuk menerima Ismi di tengah-tengah keluarga kami.
Lengkap sudah!
Ismi marah dan Kak Athaya menjadi pahlawan baru yang diakui oleh banyak orang. Nenek Rosma mulai berangsur pulih dan sekarang bisa ditebak kemana arah cerita ini akan mengalir.
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Istilah itu sangat cocok bagiku yang selalu menjadi tempat salah. Dan Kak Athaya sekarang yang meraup keuntungan banyak.
Ismi duduk di sebelah Nenek, menyiapkan satu porsi sarapan khusus ia terlihat begitu telaten dan seperti sudah mahir mengurus orang tua seusia nenek.
"Vin, hari ini apa kamu pergi kuliah?" tanya ibu.
"Emh ... ya, Bu."
"Oh, kalau begitu nanti bareng sama ibu, sekalian pulang."
"Tidak perlu, Bu. Tadi aku sudah mengabari Andi, dia akan menjemputku ke sini," jawabku.
Ibu manggut-manggut pelan. "Oh, ya sudah. Tapi kamu hati-hati, ya. Ingat kata Dokter, kamu belum boleh bawa motor. Katakan itu juga pada Andi."
Menghela nafas panjang. Kenapa ibu selalu memperlakukanku seperti anak kecil?
"Oh ya, Nek. Hari ini, apa boleh aku meminjam Ismi?" Kak Athaya menyela perkataan.
Aku mengernyit heran, meminjam?
"Kemana?" tanyaku balik pada Kak Athaya sebelum nenek sempat menjawabnya.
"Aku bertanya pada nenek, bukan padamu."
Ck. Firasat buruk, apa sebenarnya maksud kak Athaya meminjam Ismi.
"Memangnya kamu ingin mengajak Ismi kemana? Bukankah hari ini kamu harus kerja." Nenek mengambil alih.
"Bukan untuk hari ini, tapi minggu depan. Tadinya aku ingin menghabiskan waktu di rumah, tapi kemarin ada teman yang mengundangku ke pesta pernikahannya. Jadi, rencananya aku ingin mengajak Ismi untuk menemaniku kesana. Apa boleh? Kupikir, Ismi juga butuh jalan-jalan," jawab Kak Athaya.
"Tidak boleh ...!" jawabku cepat. Tegas dan menolak. Semua mata tertuju padaku, tak peduli.
Nafas saling berburu ketika mendengar perkataan Kak Athaya barusan. Secara tidak langsung ia mengatakan bahwa akan mengajak pergi Ismi kencan. Ia akan bersama calon istriku seharian!
Tidak!
"Kenapa? Kenapa kau melarangnya? Apa dia kekasihmu? Atau ... istrimu?" ucap Kak Athaya. Pelan namun jelas.
"Bukan."
"Dan lagi, kau itu lebih muda dari Ismi. Harusnya kau membiasakan diri memanggilnya kakak."
"Apa? Kakak?!"
"Arvin, jangan berteriak di depan makanan, lagipula ucapan kakakmu ada benarnya juga, kan?" sela ibu.
Tidak, bukan itu maksudnya.
Kenapa aku seolah menangkap jawaban lain? Bisa saja ia berkata begitu sebab memang ingin menjadikan Ismi kakak iparku.
Sial ...!
Lagi-lagi aku dibuat mati kata, jelas saja Ismi bukan kekasih apalagi istriku. Karena kami berdua tidak ingin ada kata 'pacaran' sebelum sah. Aku hanya bisa memastikan kalau Ismi sudah menerima perasaanku padanya. Itu saja.
Kak Athaya tersenyum geli. Seolah meledek jawabanku yang sembrono.
"Jangan ribut, nenek tidak akan melarang jika Ismi pergi dengan salah satu dari kalian. Tapi semuanya tergantung pada Ismi, apa ia mau pergi atau tidak," jawab nenek.
Mengambil buku kecil di sakunya, ia menulis sesuatu dan sesudah itu diserahkan langsung pada Ismi.
Gadis itu terdiam sejenak. Menatapi buku itu dan sejurus kemudian tatapannya berarah padaku. Apa aku harus memasang wajah memelas?
Ingin sekali rasanya aku mengatakan 'jangan'. Tolong jangan pergi bersama Kak Athaya. Karena jika tidak, aku pasti akan mati terpanggang api cemburu.
Jangan ... jangan ... jangan.
Terus kupandangi ia tanpa berkedip. Berharap Ismi merasakan apa yang kuinginkan, sedikit egois memang. Tapi aku benar-benar cemburu Ismi bersama yang lain.
Ismi mengangguk seraya memberi senyum manisnya pada Kak Athaya.
"Ia setuju, kalian boleh pergi. Tapi ingat, jangan sampai pulang malam." Nenek berkata.
Kak Athaya melebarkan senyumannya.
Darah mendidih naik ke atas kepala, bagai gunung merapi yang akan meletus nafasku tak bisa tertata lagi. Kenapa ia harus setuju?
Baiklah ... ia marah. Aku tahu, tapi apa dengan ini caranya membalasku? Kenapa ia seolah menguji kesetiaanku padanya.
Ismi ... kuakui caramu berhasil.
Sekarang aku cemburu, sangat cemburu.
***
Minggu kepergian Ismi dan Kak Athaya.
Ia masih mendiamiku.