Genggaman tangan Ismi terasa hangat. Kedua matanya seolah berganti menelusup menyusuri setiap labirin di hatiku dan menemukan ujungnya. Yang bahkan aku sendiri tak mampu melewatinya sampai saat ini.
Yah ... sekarang Ismi telah mendobrak semuanya. Bukankah kemarin baru kukatakan kalau aku takkan lagi takut apapun? Sekarang, dengan perkataan Ismi. Aku tahu kalau ia juga merasakan hal yang sama.
"Apa kau benar ingin aku tak mengulanginya lagi?" tanyaku.
Ia mengangguk pelan.
"Kalau begitu apa kau bersedia menikah denganku dalam waktu dekat?"
Mengernyit, gurat di wajahnya tak mampu kubaca. Entah ia heran, ragu atau masih ada pertimbangan. Tapi aku benar-benar takut Ismi jatuh ke hati yang lain jika harus menunggu sampai wisuda.
Apa ia akan menjawab iya' atau tidak? Ia masih belum menjawab dalam beberapa saat.
Dan aku masih menunggu kepastian dan jawaban darinya.
"Tapi bagaimana dengan ibumu?"
"Aku akan mengatakan yang sejujurnya, jika aku ingin menikahimu. Tapi sekarang, aku hanya ingin jawaban darimu, Is," ucapku. Kemudian sekali lagi kutanyai ia. "Apa ... kau bersedia menikah denganku?"
Ismi tersenyum manis.
"Apa itu artinya iya?" Memastikan.
Ia mengangguk. Sangat pelan namun sudah pasti membuatku hampir mati tak percaya.
"Tapi, nanti aku tak bisa memberimu nafkah lebih. Penghasilanku hanya dari bengkel ayah. Apa kau bisa menerimanya?"
"Iya ... aku terima."
Aku tersenyum, Ismi sedikit menitikan air matanya. Merengkuh tubuhnya dalam dekapan. Ismi membalas dengan hangat.
Apa ada hal lain yang lebih membahagiakan daripada ini? Ah, sepertinya tidak.
"Aku berjanji akan melakukan segalanya demi kebahagiaanmu, Is."
"Apa yang kau lakukan di sini?" Seseorang bertanya.
Aku menoleh dan melepaskan pelukan pada Ismi. Kak Athaya berdiri di dekat kami dengan wajah yang paling datar dan belum pernah kulihat sebelumnya.
Laki-laki bertubuh jangkung itu tampak marah, ia juga pasti heran mengapa aku bisa berada di sini.
Aku berdiri dan Ismi terlihat kaget dengan kedatangannya.
"Aku ingin menjemput Ismi," jawabku.
"Menjemput? Apa hakmu? Ismi sedang bersamaku, dan kau tidak berhak atas Ismi. Ayo, Is."
Kak Athaya hendak meraih tangan Ismi namun buru-buru kuhalangi niatnya. Kugenggam tangannya, Ismi mengernyit. Ia mungkin sedikit tak mengerti apa yang kami bicarakan.
"Dia adalah calon istriku. Kakaklah yang seharusnya tidak punya hak atas Ismi." Datar. Tajam tatapanku padanya, Kak Athaya heran.
"Apa, calon istri katamu!" bentaknya. Cepat gerak tangannya meraih kerah kemeja yang kukenakan. "Apa kau sadar dengan ucapanmu, Vin?! Kau itu masih anak ingusan! Kuliahpun kau belum lulus dan sekarang kau mengatakan Ismi adalah calon istrimu?! Gila!" Keras dan tegas.
Entah ia marah karena apa, apa ia memang peduli padaku atau memamg ia tak ingin aku menikahi Ismi. Tapi tekadku sudah benar-benar bulat ingin menjadikan Ismi halal.
Ismi berusaha memisahkanku dengan Kak Athaya, ia menggelengkan kepala seolah ingin mengatakan kalau ia ingin kami berdua menghentikan ini.
"Aku tidak peduli. Dan aku akan tetap menikah dengan Ismi dalam waktu dekat. Jadi jangan harap kakak bisa meminjam Ismi begitu saja!" Melepaskan kasar cengkramannya. Sekali lagi menegaskan ucapanku. Kak Athaya terlihat semakin marah.
Keributan cukup sengit terjadi, aku dan Kak Athaya saling tak terima dan ingin membuktikan tekad siapa yang paling kuat.
Ismi mencoba melerai tapi emosiku benar-benar telah meluap sampai ke ubun-ubun. Aku tahu betul keadaanku jika menikahi Ismi, tapi apakah dengan begitu ia harus melarangku sekeras ini? Tidak.
Setelah jawaban Ismi kukantongi, aku telah berjanji pada diriku sendiri jika aku akan berusaha maksimal membahagiakannya.
"Aku akan menikah dengan Ismi dengan atau tanpa izin dari kalian ...!"
"Lancang ...!"
BUK'
Satu hantaman keras mendarat di rahang, terjatuh ke aspal lagi Kak Athaya masih belum meredakan emosinya yang tinggi.
"Arvin ...!" Berteriak memanggil nama. Enzy menghampiriku yang tergolek di aspal.
Napas saling memburu ketika darah merangsak naik ke atas kepala. Sakit bercampur emosi membuat pikiran tak sejernih air lagi.
"Pukulah aku sebanyak yang kakak mau, atau kejarlah aku sampai ke ujung dunia, tapi aku tidak akan pernah melepaskan Ismi lagi. Ingat itu ...." Datar dan tegas. Aku berdiri lagi dengan keyakinan yang sudah pasti.
Meraih satu tangan Ismi, kuajak ia berlalu dari sana dengan tanpa berkata lagi. Meninggalkan Enzy dan juga Kak Athaya.
"Arvin ...!" teriak Kak Athaya.
Hilang sudah semua rasa sakit yang kuderita, cukup sampai di sini perjalanan jauh kutempuh. Ismi adalah satu-satunya pelabuhan yang akan mengakhiri pencarianku.