Hari-hari berlalu meninggalkan jejak kepastian dalam diri, menatap ia yang nyata menorehkan senyum yang sejenak menyibak luka di dada.
Sebentar lagi, tinggal menghitung hari kebahagiaan itu akan sampai setelah melewati rintangan yang hampir melepas nyawa dari tubuh.
Cinta dari seorang gadis bisu dan tuli takkan menjadi sebuah halusinasi kosong dari penulis amatir yang menggores cerita cintanya pada setumpuk lebaran kertas. Ia akan menjadi nyata, cintanya sudah kuraih dan ia akan menjadi halal bagiku.
Namun kemarahan Kak Athaya menjadi luka tersendiri dalam hati. Sejak penentuan tanggal pernikahanku dan Ismi yang akan diadakan secara sederhana.
Ia memisahkan diri dari keluarga, tak pernah lagi pulang ke rumah. Ia kini menetap di kota Bandung dan mengabaikan permintaan ibu yang ingin mencoba memberi pengertian.
Apa aku harus bahagia? Kenapa aku merasa telah menjadi adik yang paling jahat sedunia. Dari salah satu film terkenal yang pernah kutonton.
Tujuan Thanos itu mulia, ingin menyeimbangkan kehidupan alam semesta hingga tak ada lagi penderitaan dan kemelaratan, kemiskinan juga perbudakan.
Tapi caranya yang salah, ia mewujudkan mimpi mulianya itu dengan memusnahkan sebagian makhluk hidup dan malah menyisakan air mata dari yang masih hidup. Mengorbankan orang yang ia kasihi dan membuat dirinya tersakiti.
Kurasa sekarang kisah itu tak jauh berbeda denganku. Tujuanku adalah menyelamatkan Ismi dari penderitaannya, ingin membebaskan ia dari luka dan kesendirian, memberikan hak yang lebih baik dan menjaganya.
Tapi fatalnya, hubungan keluarga kami renggang karena aku mengorbankan perasaan Kak Athaya, mengenyahkan perintah ibu dan membuat semua rencana kacau.
Bisa bayangkan sendiri sejauh mana kejahatanku?
Sepertinya, luka itu akan sulit lekang oleh waktu.
***
Hampir dekat dengan hari H, Ismi menghubungi lewat ponsel memintaku datang ke rumah nenek. Sebenarnya agak ragu, karena nenek terus wanti-wanti agar aku menjaga jarak dengan Ismi sampai kami berdua sah menjadi suami istri.
Datang ke rumah Nenek Rosma selepas shalat maghrib, Ismi menyambut kedatanganku dengan binar cerah di wajahnya.
Menjelang hari pernikahan dan tak melihatnya selama hampir satu bulan, aku merasa aura kecantikan Ismi bertambah. Wajahnya cerah dan tatapan matanya hangat terasa menembus dada.
Duduk berlama-lama di ruang tamu, tak terasa es batu yang berada dalam gelas minuman sudah mencair. Hanya menatapi saja bayangnya, gerak tangan Ismi berlalu tanpa bisa sempat kubaca karena terlalu fokus menatapi auranya.
"Ah ... sakit, sakit, sakit, Nek!" Ucapan dan ringisan kecil terlontar begitu saja. Jeweran tangan nenek sangat keras di telinga tanpa kusadari.
"Jangan menatapnya begitu, bukankan sudah nenek katakan jaga matamu!" Melepaskan jewerannya. Ia tampak marah.
"Tidak, nenek hanya mengatakan kalau aku harus menjaga jarak darinya bukan menjaga mata."
"Arvin!" Ia semakin marah.
"Eh, iya, iya, Nek ... maaf. Aku salah," ucapku. Sedikit sunggingan senyum nakal kuberi. Nenek sudah tak lagi menatap tajam. "Jadi kenapa Ismi memintaku ke sini?"
"Tanyakan saja sendiri padanya."
Aku mengernyit, Ismi yang duduk jauh di sebrang tersenyum sangat manis melebihi manisnya gula aren. Sedikit lagi menatapnya lebih lama, aku yakin akan mati akibat penyakit gula.
"Aku ingin mengajakmu pergi ke suatu tempat." Menggerakkan jemari lentiknya, ia mulai membuatku heran.
"Engh? Kemana?" tanyanku.
Ismi hanya tersenyum manis, sedangkan nenek terus berceloteh tentang jarak, jarak, jarak dan jarak. Hanya mengangguk mengiyakan, untung saja aku tak dibekali meteran saat pergi bersama Ismi.
***
Kaki bertapak di lapisan terpal yang menghalangi rembesan air dari tanah merah. Hujan lebat memang sempat singgah membasahi daerah kota nanas ini sore tadi.
Dan sekarang, di tempatku berdiri saat ini. Terlihat lampu hias beraneka warna menerangi gelapnya malam. Sorak sorai suara jeritan manusia bergemuruh.
Decitan besi menukik sedikit membuatku menelan ludah.
"Ayo ...." Ajak Ismi. Menggenggam tanganku dan menarik masuk ke dalam zona merah ini lagi.
Sebuah tempat dimana aku tak begitu suka, bukan masalah keramaiannya.
Tapi.
Ketinggian dari sebuah wahana permainan kincir angin dan yang terextrem yaitu kora-kora.
Derap langkah terasa ragu menapak, namun Ismi terus mengajak seolah ia yang berkuasa atas diriku malam ini. Ia tak bersuara, akupun kadi ikut membisu.
Tenggelam sudah ditelan lagu Via Valen hingga Ayu tingting. Andai saja Ismi bisa mendengar, aku ingin menyanyikan sepenggal lagu untuknya yang terus diulang-ulang tukang kaset.
'Sayang, opo koe krungu? Jerite atiku, mengharap kita pulang. Sayang ....'
"Ada apa?" Ismi menghadang.