"Bunuh saja dia."
Seseorang laki-laki bertubuh tegap penuh dengan tato di sekujur tubuhnya memberi perintah. Satu lagi orang di sebelah mengintai sekeliling kemudian kembali menatap sosok gadis lemah tak berdaya di hadapan mereka berdua.
Tubuh gadis itu sudah penuh dengan luka, dres putih selutut yang ia kenakan pun koyak hingga sebagian lekuk tubuhnya hampir terlihat. Memeluk erat tubuh sendiri nafasnya jelas terengah mungkin karena menahan ketakutan dan sakit luar biasa.
Tak bersuara sedikit pun, sesekali ia malah menatapku yang tengah bersembunyi di balik pohon mangga tak jauh dari tempat mereka berada.
"Tapi kita belum berhasil menadapatkan apa-apa dari dia, Bos!"
"Lah! Itu sudah tidak penting! Sekarang yang harus kita lakukan adalah tak meninggalkan jejak sama sekali. Karena dia bisa membuat kita berdua masuk penjara!"
Mereka berdua terus bicara.
Sedangkan gadis itu malah terus menatapku tanpa celah. Sial ... ini bahaya. Kenapa ia seolah meminta bantuanku?
Lima menit menit sudah aku berada di sini, sebuah perkebunan yang di sebelahnya terdapat pemakaman umum yang cukup luas. Tempat ini sepi, meski matahari masih bertengger jelas di atas, sinarnya masih mampu menerangi sebagian dunia. Dan kesalahan terbesarku adalah, pergi mendahului orang tua dan kakakku ke sini selepas melakukan shalat ashar.
Kupikir ini akan baik-baik saja, tapi aku malah menyaksikan dengan tidak sengaja seorang gadis berlari dari kejaran serta menahan siksaan kedua laki-laki yang hampir memporak porandakan kesuciannya.
"Argh! Kenapa juga aku harus datang ke tempat ini lebih dulu?" Merutuk serasa tak berguna, nyawa seorang gadis di ujung sana sudah berada dalam bahaya.
Ingin melawan, tapi ketakutan masih merajai diri. Merasa tidak mampu menghadapi keganasan dengan postur tubuhku yang tak sebesar mereka.
Aneh ....
Ia yang akan dibunuh, tapi aku yang malah merasa tegang. Keringat dingin mulai mengucur di pelipis, aku pun tak menimbulkan suara semenjak terjebak di sini.
Bau hancing di atas tanah yang kupijak juga mulai menusuk hidung. Baiklah ... abaikan itu. Untung saja hajatku sudah keluar sebelum menyaksikan kejadian ini. Jika tidak?
"Ayo, cepat! Mumpung tidak ada orang ...." bisik salah satu dari mereka.
Laki-laki yang diperintahnya pun mulai melangkah, mereka tak membawa senjata tajam. Tapi dengan mengambil sebuah bongkahan batu besar apa pun bisa terjadi, bukan?
Laki-laki itu semakin dekat dengan sebongkah batu besar di tangannya, gadis itu pasrah. Aku pun semakin tegang dibuatnya.
'Gila! Ini gila? Apa yang harus kulakukan?'
Nafas kian saling berburu, andai saja ini hanya sebuah game yang selalu kumainkan, mereka berdua pasti sudah kuberi jurus HAYMAKER OF GOD atau KUNGFU TANGGO. Tapi sayangnya ini kenyataan, kenyataan bahwa akulah yang menjadi ujung harapan nyawa gadis itu.
"Ayo, cepat!" Perintah itu terdengar lagi.
"Bismillaahir-rohmaanir-rohiim ...." Mengeratkan tangan di bawah untuk membulatkan tekad. Aku pun akhirnya mengambil tindakan 'nekat'.
SRAK'
BHUAK'
Langkah cepat mengambil sebuah kayu di tanah dan lalu kuhantamkan itu pada mereka berdua tanpa ampun.
BRUK'
"Sial! Siapa kamu?!"
Mereka ambruk, namun tak sepenuhnya mampu membuat situasi aman begitu saja. Ini hanya penundaan waktu agar bisa melarikan diri.
"Ayo lari ...!" seruku. Tapi ia tak bergeming dan malah hanya menatapku takut.
Berdecak malas, aku pun menarik lengannya dan membawanya lari.
Lari sejauh mungkin dan mencari tempat yang aman, dan tempat teraman adalah kampung yang paling terdekat. Aku akan membawanya ke sana untuk mencari pertolongan lain, kedua laki-laki itu mengejar. Hingga semakin erat peganganku untuk mengajaknya lari lebih cepat lagi.
"Heh ... berhenti!" Mereka menyeru keras.
Sedikit menoleh ke arah samping untuk melihat seberapa jauh jarak kami. Tapi bukan mereka yang terlihat, yang nampak jelas terlihat justru 'mereka' yang ada di sebelahku. Itu' sedikit terbuka akibat robekan, membuat sebagian tenaga hampir hilang beriringan hilangnya konsentrasi.
Sial ... otakku mulai nge'hank!
"Astagfirullahal-adziem ... mata, Arvin! Mata!" Langsung berhenti melangkah padahal sudah hampir dekat dengan tujuan. Kututup rapat-rapat kedua mata dengan satu tangan.
Sejujurnya aku adalah pemuda tulen yang masih 'normal' apalagi usiaku sekarang sudah menginjak delapan belas tahun. Yah ... baru dua bulan lalu aku mendapatkan kartu identitas diri dan belum lama juga aku tamat Sekolah Menengah Atas.
Melihat gadis berperawakan tinggi semampai dengan rambut hitam panjang tergerai hingga pinggang serta berkulit kuning langsat berlari-lari dengan pakaian atas terbuka, tak ayal membuat hasrat kelelakianku muncul tiba-tiba.
"Ini ... pakailah. Tutupi tubuhmu!"