Setelah melewati pembicaraan yang cukup panjang dan berbelit-belit, akhirnya Ayahku Danish mengambil keputusan juga yaitu membawa kasus tindak percobaan pemerkosaan dan penganiayaan ini ke jalur hukum.
Ia juga berniat memanggil ahli untuk mengartikan bahasa isyarat Ismi yang tak dimengerti oleh siapapun dengan tujuan agar semuanya bisa jelas siapa pelakunya.
Lalu apakah aku takut? Tidak.
Justru aku ingin esok hari datang dengan cepat, yang terlihat takut saat ini adalah tak lain dan tak bukan kedua laki-laki yang memfitnahku habis-habisan.
Melempar batu sembunyi tangan, kini mereka akan merasakan bahwa kalau senjata juga bisa makan tuan.
Dengan wajah geram dan tak puas, mereka melangkahkan kaki pergi meninggalkan rumah. Mereka berdua pasti takut kebusukannya akan tercium oleh masyarakat.
Ismi yang tadi terkena hantaman Kak Athaya pun sedang berada di kamar bersama Ibuku Anika, merawatnya di sini dan memberikan perlindungan penuh terhadap korban. Itu adalah permintaanku. Yah ... permintaanku.
Ia terkena pukulan itu karena aku, jadi kupikir tak ada salahnya menampung ia sehari di rumah ini supaya Ibu bisa merawat lukanya dan memberikan pakaian yang layak.
Meski sangat bertentangan dengan hati, tetap saja aku tak tega melihat seorang wanita teraniaya.
Namun sekarang, bukan hanya masalahku yang menjadi satu-satunya kemarahan Ayah muncul selama aku hidup delapan belas tahun lamanya. Tapi karena perbuatan Kak Athaya juga.
Dan akibatnya, Ayah menyidang kami berdua bagai narapidana sungguhan. Tak bernada tinggi, tapi tegas. Ia marah namun tak pernah betul-betul marah seperti saat Ibu memarahi kami.
Ayah memang begitu.
***
Menatap langit-langit rumah, seluruh tubuh masih terasa sakit dan ngilu meski Ibu sudah mengobati luka lebam ini sebelum aku masuk kedalam kamar. Jarum jam juga terus berputar menghitung waktu dengan teratur.
Sudah tepat pukul dua belas malam, tapi kantuk belum juga hinggap di mata. Kak Athaya pun sudah terlelap di sebelah.
Teringat perkataan Ibu sewaktu kami masih berada di ruang tengah bersama Ayah dan Kak Athaya. Menurutnya, Ismi tidak benar-benar kehilangan pendengaran secara penuh. Tapi ia masih bisa sedikit mendengar dan memahami kata jika bertatap wajah dan memperhatikan gerak bibir dan tubuh.
Jika seperti itu, bisa diperkirakan Ismi pasti kebingungan saat banyak orang bicara tadi.
Meski tak mendapatkan banyak informasi, tapi itu saja sudah cukup untuk membuktikan kalau aku tidak bersalah.
Tapi sekarang, yang mengganjal dalam hatiku adalah ....
"Athaya, Arvin ...!" Suara ibu menyeru dari balik pintu. Mengetuk keras hingga membuatku langsung beranjak dari tidur.
"Kenapa, Bu?" tanyaku setelah membukakan pintu.
Mengernyit heran, kulihat raut wajah Ibu panik dan tak tenang.
Ia pun menjawab, "Ismi tidak ada di kamar, dia pergi, Vin."
Nafas terjeda beberapa saat, baru saja aku menerka hal apa yang mengganjal dalam hati, sekarang hal itu sudah berganti jadi rasa khawatir.
Ayah dan Kak Athaya terbangun, mereka tampak biasa namun tidak denganku.
"Sejak kapan?"
"Sepertinya sekitar lima menit lalu."
Segera saja kuambil jacket dalam lemari dan berjalan ke arah pintu keluar tanpa berpikir panjang lagi.
["Yang penting sekarang adalah kita tidak boleh meninggalkan jejak, karena dia bisa membuat kita masuk penjara!"]
Entah kenapa kalimat itu terngiang di telinga, dengan kata lain mereka sudah tahu pasti bahwa Ismi tak benar-benar bisu dan tuli.
Apalagi saat Ayah memutuskan membawa kasus ini kejalur hukum, niat jahat itu semakin tercium dari mereka. Itulah salah satu alasan tersembunyiku meminta Ismi berada di rumah ini.
Sial ... kenapa Ismi harus pergi?
"Arvin, kamu mau kemana, Nak?" tanya Ibu.
"Aku ingin mencari Ismi, Bu, Assalamu'alaikum ...," jawabku.
"Tapi, Nak. Tunggu ayah dan kakakmu dulu. Nanti kita bisa cari sama-sama."
"Maaf, Bu. Tapi aku tidak bisa menunggu."
Meraih satu tangan Ibu dan mengucap salam aku pun berangkat menggunakan sepeda. Tak ada kendaraan lain lagi, sebab aku tak bisa menggunakan mobil Ayah.
***
Menerobos gelapnya malam, desa ini sangat sepi. Hening dan tak ada suara apapun kecuali sepeda yang tengah kukayuh.
Rumah Ismi. Itulah tujuan pertamaku.
Menurut informasi ia tinggal di paling ujung desa ini. Dan aku harus segera mencarinya sampai dapat.
Gang demi gang kulewati, nafas mulai terengah dan keringat mulai mengucur meski dingin malam menusuk kulit. Tak tahu rumah Ismi ada di mana, yang jelas aku harus menuju gang akhir dari desa ini.
Beberapa menit berlalu, hingga sampai juga di gang terakhir tempat rumah Ismi berada. Tapi masalahnya, yang mana rumahnya?
Hening.
Gelap.
Hanya ada beberapa rumah, itu pun jaraknya saling berjauhan karena terpisah kebun mangga dan pisang. Sedikit melewati itu, maka akan terlihat hamparan sawah nun luas seolah tak berujung. Apa aku harus mengetuk setiap pintu rumah yang ada di sini?
Turun dari sepeda dan meletakannya asal, menopangkan telapak tangan di kedua lutut. Nafas bahkan hampir habis hanya untuk datang ke sini.
"Ismi?" gumamku.
Melihat sosok gadis berbaju putih dengan rambut panjang hitam tergerai menyerupai Ismi. Aku yakin, itu pasti dia. Gadis itu berjalan sendirian menuju ke dalam perkebunan di paling ujung.
"Ismi, tunggu ...!" Bergegas meraih kembali sepeda, kukayuh lagi untuk mengejar Ismi yang makin menjauh.
Berteriak pun serasa tak ada guna, ia pasti takkan mendengar teriakanku dari kejauhan. Hingga semakin dekat aku ke arahnya, kulihat ia berhenti melangkah dan malah mematung di pinggir sebuah pohon pisang.
Sekali lagi meletakkan sepeda asal, kuhampiri ia yang masih berdiri membelakangiku dan menghadap ke sebuah gubuk di depannya. Yah ... satu-satunya gubuk. Dan tak ada rumah lain lagi setelahnya.
"Ismi, kenapa kamu pergi? Apa itu rumahmu?" Aku bertanya dengan napas masih belum mampu kuatur.
Bodoh, aku lupa ia tak bisa mendengar dengan suara pelan.
Aku menegakkan tubuh dan menatapnya keseluruhan, wajah Ismi tak terlalu jelas karena minimnya penerangan. Ia hanya menatap tajam ke arah gubuk itu tanpa berkedip sekalipun.
"Ismi a-yo ki-ta pu-lang ke-rumah-ku sa-ja, di-sini ti-dak aman buat-mu," ucapku secara perlahan diiringi gerak tubuh sebagai isyarat, tapi Ismi tak menatapku sama sekali.
Matanya terus menjurus ke gubuk. Tajam. Seolah menyimpan kemarahan tak terkira.
"Ismi?"
Tak ada jawaban.
"Is ...."
SRAK'