Menangis tanpa suara, itu sudah bukan pribahasa lagi. Ismi hanya menangis di punggungku beberapa saat sampai akhirnya kedua netra kami bertemu dalam satu tatapan.
"Kenapa kamu menangis?"
Ismi tak menjawab, menyeka air matanya dengan cepat ia berbalik arah dan melangkah masuk dalam gubuknya.
Tak mengejar lariannya, aku mematung menatapi gubuk. Ia tak keluar juga dalam waktu satu menit. Apa ia marah?
Ya ... mungkin saja. Dengan memintanya tinggal di rumah kakek secara mendadak, ia pasti berpikiran kalau aku sudah begitu merendahkannya.
Aku pun mulai melangkah lagi menuju sepeda. Pertemananku dengan Ismi memanglah terasa singkat, berawal dari ketidaksengajaan dan fitnah. Ismi adalah satu-satunya teman yang kupunya di desa ini.
Srak!
Belum sempat mengayuh pedal, tiba-tiba saja Ismi datang lagi dan merentangkan kedua tangannya.
"Kupikir kamu marah," ucapku.
Ismi lagi-lagi tak menjawab.
Dengan sebuah arang dan kertas koran bekas di tangannya, ia berjongkok dan menggoreskan arang pada koran itu. Kemudian ia tunjukan itu padaku.
"Ismi? Kamu bisa menulis? Astagfirullah ... kenapa kamu bohong, Is?" Aku sedikit geram.
Sebab susah payah waktu itu aku mencoba mencari jawaban bagaimana cara menjelaskan pada mereka. Tapi Ismi malah tak menunjukkan kalau ia bisa menulis.
Kutatap lagi Ismi. Kedua telapak tangannya menyatu, membaca tulisan yang tertera di koran.
Tak buruk, cukup bisa dipahami.
"Jangan pergi ...."
"Maaf, tapi aku tidak bisa. Kamu sudah bohong padaku, Ismi."
Ia menulis lagi.
"Aku mohon ...."
Aku merengut. Tanpa memedulikan lagi tulisan atau apa yang ia lakukan, sangat kecewa dengan kebohongannya. Dua kali sudah nyawaku hampir melayang, dan ia dengan mudahnya menyembunyikan hal besar ini. Aku melangkah lagi.
Ismi menarik tangan.
"Apa lagi?!" Aku marah.
Ia tak berhenti menatap. Seolah tak takut dengan kemarahanku.
"Aku itu kecewa sama kamu, Is. Kenapa kamu tidak jujur kalau kamu bisa membaca dan menulis? Dua kali aku hampir mati gara-gara kebohongan kamu, dan lagi kamu juga tidak pernah jujur kenapa kamu pergi dari rumah malam itu?"
Aku berbicara agak cepat, Ismi mengernyitkan kening. Ia pasti tak mengerti maksud ucapanku.
Ismi lagi-lagi menitikan air mata, masih berdiri di hadapanku kali ini ia diam tak berbuat apa-apa.
"Apa kamu tetap tidak mau jujur?" kali ini lebih pelan.
Ia masih tak menjawab dan hanya menangis. Jika ada orang yang bertanya padaku, apa hal yang paling mengesalkan di dunia ini?
Aku pasti akan menjawab. Dibohongi dan menunggu.
Kesekian kalinya aku melangkah melewati Ismi begitu saja karena tak mendapat jawaban apapun, ia pun hanya menunduk sampai saat aku sampai meraih stang sepeda.
Ismi menghadang lagi, meremas koran bekas di tangannya beberapa saat kemudian ia memberikan itu padaku dengan sedikit kesal.
Setelah itu ia pun berlari masuk ke dalam gubuknya, lagi. Tidak kembali.
Koran kusut berada di tangan, sebenarnya aku tidak ingin lagi membacanya. Tapi tetap saja hati dan pikiran memang tak pernah sinkron.
Singkat padat an jelas, goresan arang di selembar kertas koran membuat hati terhenyak.
"Karena sendirian itu menyakitkan!"
Saat membaca tulisan itu. Perasaanku sulit tergambarkan oleh apapun.
***
Aku menatapi hamparan sawah yang terlewat begitu saja dari dalam kaca mobil. Musik yang keluar dari earphone berharap bisa mengalihkan ingatanku, tetapi tetap saja pikiranku terus melayang ke tempat Ismi.
Gadis usia dua puluh tahun, dengan tanpa siapapun di dekatnya. Sungguh aku tak mengerti bagaimana rasanya sendirian.
Selama ini, aku selalu dikelilingi orang-orang yang menyayangiku. Orang tua utuh, satu orang kakak, tiga orang Nenek dan dua orang kakek, mereka selalu ada dan kapan pun aku bisa menemuinya.
Tapi Ismi?
Apa-apa sendiri, ia lakukan ini dan itu sendiri selama dua tahun.
Ah ... kenapa ini malah sakit?
Aku memegangi dada, terasa sedikit perih. Padahal aku tak memiliki riwayat sakit jantung.
Sela jemari tangan saja mampu menjadi arti sederhana kenapa Allah Swt menciptakan manusia. Ia dibentuk untuk saling mengenggam dengan yang lain, orang tua, kakak, adik, teman bahkan pasangan.
"Lain kali, sebelum bertindak pikirkan dulu apa yang akan kamu lakukan dengan isi kepalamu." Kak Athaya bersuara.
Kulepaskan headset di telinga, ia yang duduk di sebelah sibuk bermain dengan gawainya.
"Maksud Kakak?"
"Tindakanmu kemarin sangat merepotkan," ucapnya lagi datar.
Kuhela napas panjang, membenarkan posisi duduk. Sifat Kak Athaya itu bagaikan tiang listrik. Lempeng, seolah tak ada gairah sama sekali.
Selalu banyak diam dan sibuk dengan pekerjaan, sekalinya ia bicara pasti terdengar bak merecon cabe. Sakit di telinga.
"Ya, terus? Apa aku harus diam saat ada wanita yang mau dibunuh?"