KISAH GADIS BISU DAN TULI

Aydhaa Aydhaa
Chapter #4

Perpisahan

Hening, hanya terdengar detikan jarum jam saat mata ini mulai kembali terbuka.

Sebuah jarum menusuk kulit sakit mendera pergelangan tangan kananku. Tak ada tirai pembatas, yang terlihat hanyalah beberapa tempat tidur kosong dalam ruangan ini, bau obat-obatan pun menyengat indra penciuman.

"Arvin?"

"Ibu? Dimana aku?" Aku sedikit mengernyit dan kaget sebenarnya, mengapa orang yang duduk di sebelahku Ibu. Sebab seingatku, terakhir kali aku bersama Ismi.

"Di puskesmas," jawab Ibu.

Aku terdiam sejenak, kulihat jarum jam di dinding ruangan ini menunjukkan pukul 2:15 menit. Seluruh tubuh sangat terasa tak nyaman, panas tapi dingin meski selimut tebal menutupi setengah bagian tubuhku.

"Puskesmas?"

"Ya, Ibu mendapat kabar kalau kamu pingsan semalam, jadi Ibu langsung datang ke sini bersama kakakmu."

"Dari siapa?"

"Orang yang telah membuatmu membohongi Ibu."

"Apa?"

Mendengar jawaban Ibu, satu-satunya orang yang terlintas di pikiranku adalah Ismi. Ia pasti yang telah memberitahu Ibu bahwa aku berada di sini.

Setelah tadi kupikir semuanya akan berakhir, nyatanya aku kembali lagi dan lagi. Si bodoh ini terus kembali dan mengulang kebodohannya.

Tentang aku yang tak pernah bisa berharap lebih banyak lagi tetapi malah memupuk harapan itu dan semakin subur.

Apa yang kupikirkan?

"Sekarang kamu sudah bisa berbohong, Vin. Siapa yang mengajarimu? Gadis itu?" tanya Ibu.

Aku kaget. Raut kemarahan terpancar dari wajah Ibu.

"Kenapa Ibu berkata begitu?"

"Karena Ayah dan Ibu tidak pernah mendidik kamu sebagai pembohong, kamu bilang akhir-akhir ini kamu sibuk mengerjakan tugas kuliah bersama Andi, tapi apa? Ternyata kamu pergi ke sini tanpa sepengetahuan Ayah dan Ibu? Apa tujuan kamu sebenarnya, Arvin?"

"A-aku, aku ...."

Tak bisa menjawab dengan tepat. Bahkan aku sendiri tak tahu apa tujuanku yang sebenarnya datang ke sini dan membohongi Ibu. Menyingkirkan semua alasan, jarak, waktu dan kesehatan demi menemui Ismi.

"Ibu kecewa sama kamu, Vin."

"Aku menyukainya, aku menyukai Ismi, Bu," jawabku tiba-tiba.

"Apa kamu bilang?"

"Aku menyukai Ismi, karena itulah aku datang ke sini hanya untuk menemuinya." Lagi. Aku menjawab pertanyaan Ibu tanpa pernah terpikirkan.

Apa itu benar alasan yang kupunya? Atau memang benar hal itu yang sedang terjadi?

Mengingat bagaimana aku rela melakukan apapun untuknya, perjalanan jauh selama empat jam lamanya pun tak mampu membuat hati luntur ingin menemuinya.

Berangkat kuliah pagi, pulang sore dan langsung datang ke sini, pulang subuh kemudian berangkat kuliah lagi. Waktu istirahat pun menjadi tak teratur. Pola makan berantakan karena pikiran terus terbayang tentang Ismi.

Ia sudah memenuhi setiap rongga dalam hati dan kepalaku.

"Keterlaluan! Jadi hanya itu alasan kamu?!" bentak Ibu.

Keras suaranya menggema seisi ruangan, Kak Athaya pun tiba-tiba muncul dan langsung menghampiri Ibu.

"Astagfirullahal-adziem, Bu. Ada apa?" Kak Athaya tampak heran. Memegang bahu Ibu ia juga menatap datar.

"Maaf," jawabku pelan.

"Maaf? Harusnya kamu berpikir dulu sebelum berkata, Nak! Bagaimana jika terjadi hal buruk menimpamu di jalan?! Atau saat seperti, siapa yang akan merawatmu?! Purwakarta-Majalengka bukan jarak dekat."

Aku diam mendengar kemarahan Ibu yang sudah seperti bom hiroshima.

"Ibu tidak akan pernah mengijinkanmu datang ke sini lagi," sambungnya datar.

"Bu ...."

"Ibu tidak pernah menuntut apapun sama kamu, Arvin. Tapi sekarang ibu hanya ingin kamu fokus kuliah, itu saja. Ibu tidak ingin pikiran kamu teracuni oleh yang lain."

"Tapi, Bu, Ismi ...."

"Tidak ada tapi, sekarang kamu tidur lagi, besok pagi kita pulang ke Purwakarta, titik."

Tajam tatapannya, aku pun tak berkata dan hanya menatapi Ibuku. Mencoba mengadu pendirian siapakah yang paling kuat, dan sudah pasti jawabannya adalah ... aku kalah.

Lihat selengkapnya