Ibu membanting pintu, keras, lantas mengunciku di dalam kamar. Setelah empat jam lamanya Majalengka-Purwakarta ia mengomel tiada henti dalam mobil, memarahi habis-habisan karena kebohongan yang kubuat.
Aku bersandar di daun pintu, perlahan memerosotkan tubuh ke lantai. Jika begini, ingin rasanya aku menjadi kecil seperti semut agar bisa keluar di setiap celah rumah.
Tapi nyatanya aku juga takut dicap anak durhaka, bagaimana jika aku dikutuk menjadi semut betulan? Ah, kenapa sangat sulit jika bersangkutan dengan Ibu?
"Bu, buka pintunya!" Aku menyeru, menggedor pintu dengan kepalan tangan, bukan kunci yang kudapat malah sakit yang terasa.
"Ibu akan buka setelah kamu pikirkan kesalahan kamu baik-baik, Arvin!" jawab Ibu dari luar.
"Tapi, Bu ... argh!" Menggedor pintu dengan keras, tapi suara Ibu sudah tak terdengar lagi. Ia pasti sudah pergi.
Sekarang hanya bisa pasrah menerima keadaan.
Ismi. Dua jam pertemuan bagai satu detik, satu minggu jarak memisahkan bagai satu tahun. Ia selalu tersenyum memberi harapan, kenapa ia seolah enggan mewujudkan itu?
Deretan kalimat dalam sebuah buku menjadi saksi bisu saat aku masih bertatap wajah dengannya di Video Call. Yang kini hanya mampu kutatap tulisan buruk itu dengan tatapan getir.
***
Tak ada jawaban darinya, berbulan-bulan terlewati dengan penasaran tingkat dewa. Itu berlebihan ... memang benar. Tapi itu adalah kenyataan sampai saat ini.
Kenyataan juga jika hubunganku, Kak Athaya dan Ibu sedikit renggang. Jarang pulang ke rumah, sekarang aku tinggal di rumah Nenek Rosma dan Kakek Abdurrahman di daerah Jalan Cagak-Subang.
Seminggu sekali Ayah dan Ibu datang ke sini, memang karena itu sudah menjadi kebiasaan, sebab tempat yang kutinggali adalah orang tua dari ayahku Danish.
Meski ada kemajuan berarti antara kami tapi masih sedikit kecewa dengan sikap Ibu tempo hari. Aku jadi jarang bicara dengannya.
Lebih banyak berdiam diri di kamar, hampir semua akses komunikasi tak kugunakan. Malas.
Seperti saat ini, aku berada di dalam kamar seharian penuh padahal ini adalah hari libur, sejak semalam Andi mengajak pergi ke satu tempat untuk sekedar mencari hiburan tapi aku enggan mengiyakan. Malas.
"Assalamu'alaikum, Arvin? Boleh Ayah masuk?" Suara lelaki terdengar dari luar.
Aku tak beranjak dari tempat tidur dan hanya menjawab, "waalaikum salam, boleh."
Ayah membuka pintu. Sejenak melirik ke arahnya, ia memutar mata ke seisi kamar, seolah menerka apa saja yang ada dalam kamarku.
Biarlah. Ia boleh melakukan apapun sesukanya, toh di tempat ini pun tak ada yang lain lagi kecuali lemari, tempat tidur, sebuah Tv, Dvd dan PS yang sedang kumainkan ini.
"Apa Ayah boleh ikut main?"
"Emh."
Ia duduk di sebelah, mengambil stick Ps lalu mengubah mode permainan. Tak ada kata dalam sesaat, aku sungguh merasa canggung.
Apa tujuannya?
Ia tak berkata, aku pun diam tak ingin bertanya.
"Apa kau tahu? Dulu, Ayah juga sama sepertimu." Ayah membuka pembicaraan, memecah keheningan antara kami berdua.
"Maksud Ayah?"
"Mengejar cinta ibumu sangat sulit, apalagi nenekmu juga tidak menyetujui keinginan Ayah menikahinya."
Aku mengernyit heran, menoleh ke arah laki-laki paruh baya bertubuh hampir sama denganku itu tetap fokus ke permainan, tapi ia juga mengajak bicara.
"Kenapa?"
"Ibumu sangat tangguh dan sulit ditaklukan, membenci Ayah setengah mati, hatinya sekeras batu, tapi ia mudah menangis."
Ia bercerita tentang masa lalunya, dan aku kini jadi pendengar setia. Siapa tahu saja, ini bisa menjadi motivasiku untuk mengejar Ismi. Pernyataan cinta pertama, parahnya cintaku menggantung tak ada kabar. Ini payah.
"Dulu, nenek menentang Ayah karena ibumu seorang janda beranak satu, punya banyak masalah dan tidak berhijab. Tapi Ayah kukuh sebab Ayah juga tak bisa dikatakan sempurna, Ayah juga pernah mengalami kegagalan dalam pernikahan sebelumnya, saat itu Ayah begitu tertarik dengan sifat ibumu yang bertempramen tinggi. Karena parasnya yang cantik, ia pernah terkena fitnah hamil di luar nikah dan dimusuhi warga."
"Hah? Benarkah? Ibu pernah mengalami itu?" Aku memangkas perkataannya, ia mengangguk pelan.
"Ayah tak sengaja melihat kerumunan warga setelah pulang dari tempat teman, ternyata rumah teman Ayah bertetangga dengan Ibumu. Dan saat itu juga Ayah lihat Ibumu sedang bertengkar dengan tetangganya."
Ayah melanjutkan cerita, sekarang pikiranku malah terfokus pada apa yang Ayah sampaikan.
"Di hari yang sama Ayah langsung memutuskan untuk melamarnya, tanpa berpikir panjang, tanpa Ayah tahu apa Ayah benar-benar menyukai ibumu atau tidak? Apa ia akan menerima atau tidak? Apa nenekmu menyetujui atau tidak? Atau bagaimana kedepannya. Yang terlintas di pikiran Ayah hanya, bagaimana cara menyelamatkan Ibumu dari fitnah."
"Lalu?"
"Hari itu Ayah mengatakan ingin melamarnya, satu minggu kemudian Ayah datang dengan kakek dan nenekmu, satu bulan kemudian kami menikah padahal ibumu masih belum menerima Ayah."
"Itu namanya ayah sudah memaanfaatkan kesempatan dalam kesempitan," gumamku.
Ayah malah terkekeh kecil. "Yah ... begitulah kira-kira. Karena lama sekali membuat ibumu akhirnya bisa mencintai Ayah. Sangat lambat, seperti siput."
"Lalu, apa yang sebenarnya ingin Ayah sampaikan? Tidak mungkin juga Ayah datang hanya untuk bercerita ini, kan? Apa ... Ayah ingin aku juga mengejar cinta Ismi? Ia juga tak menjawab perasaanku saat itu."
Ayah menjawab, "Salah."
Aku mengernyit. "Salah? Lalu apa yang harus kulakukan, Ayah?"
"Apa kamu serius menyukainya? Atau perasaanmu hanya sesaat?" Ayah malah balik bertanya.
"Serius."
"Meski ia punya kekurangan?"
Terdiam sejenak, aku memikirkan baik-baik jawaban apa yang kupilih.
"Menurutku, bisu dan tuli Ismi bukanlah kekurangan, tapi keberuntungan yang tidak disadari. Dengan keberuntungan itu, setidaknya lisan dan pendengarannya terselamatkan dari hal buruk. Ismi bagiku seperti kanvas kosong yang masih belum diberi warna. Ia sangat polos meski terkadang ceroboh. Dan itu yang menarik perhatianku selama ini."
Aku membuang napas percuma sambil menatap langit-langit rumah, pikiran mulai melayang ke tempat Ismi lagi. Apa aku gila? Kali ini aku akan menjawab, iya. Sebab ia sudah membuat seorang Arvin tergila-gila.
"Vin?"
"Engh? Kenapa?" Ayah mengibaskan telapak tangannya tepat di hadapan wajahku. Lamunan buyar seketika.
Ayah tersenyum tipis dan mulai menasihati dengan kata-katanya yang mudah dipahami, lebih tepatnya, setidaknya telingaku terselamatkan dari suara Ibu.
Ia mengatakan, cinta bisa datang pada siapa saja dan untuk siapa saja. Tak harus sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah Swt.
Perkataan Ayah dan ceritanya terus menggiring opiniku ke arah 'lain'. Yang tadinya aku sempat berpikir akan melakukan hal nekat lagi, sampai yang paling gila, tapi sekarang aku sadar jika mengambil keputusan itu membutuhkan tekad yang kuat dan sudah pasti berefek penting di masa depan.
Intinya, jika ingin menemui Ismi lagi, setidaknya aku sudah siap dengan segalanya. Selesai pendidikan, kerja dan yang paling utama aku mesti belajar. Belajar lebih dalam tentang Agama.
Karena tugas laki-laki sangat berat jika sudah menjadi imam, ia harus mengemban tugas sebagai khalifah dan harus bisa menerapkan prinsip khilafah meski hanya dalam konteks rumah tangga.
"Apa aku bisa melakukannya?" tanyaku.