KISAH GADIS BISU DAN TULI

Aydhaa Aydhaa
Chapter #6

Patah Hati

"Pergi kamu dari sini! Dasar istri tak berguna ...!" Sang lelaki berteriak keras, tajam tatapannya pada seorang wanita yang terduduk di tanah setelah ia mendorongnya dari pintu keluar rumah.

Wanita berjilbab abu dan berbaju lusuh itu menangis, merasa teraniaya padahal sudah susah payah ia berjualan makanan kecil ke seluruh kampung. Suaminya marah, sebab ia pulang dengan membawa tangan kosong, dagangannya habis tetapi tak sepeser uang pun ia bawa ke rumah. Ia dirampok preman di jalan. Tapi suaminya tak ingin tahu kecuali hasil yang ia terima.

Tak bisa berteriak minta tolong karena ia bisu.

"Mulai detik ini, kamu saya ceraikan! Sekarang pergi, pergi ...!"

Laki-laki itu menyeret paksa istrinya menjauh dari rumah. Meski terus menangis, sang wanita tak mampu berbuat apa-apa. Tak ada belas kasih, kecuali penderitaan yang ia terima.

Aku mengusap wajah seraya beristighfar, astagfirullahal'adziem.

Film di layar Televisi yang tengah ngehits ini malah semakin membuat otakku ingin meledak. Ibu-ibu di sebelah nampak anteng dengan tontonan gratis ini, sambil menunggu pesanan nasi goreng spesial ati ampela di pinggir jalan. Tontonan gratis memang cukup menghibur kala menunggu.

Tapi tidak denganku.

Kamu aku cocok.

Sejak dulu sudah bersama.

Boleh dibilang berpacaran.

Berdua kita serasi.

Tapi kini lain.

Kau malah berpaling dariku.

Dan berjanji dengan yang lain.

Aku ini kau campakkan.

Namun cintaku tak bisa.

Begitu saja menerima.

Kenyataan kau pergi dariku.

Aku masih tetap cinta.

Lalu kuputuskan kutunggu jandamu.

Kutunggu jandamu.

Maaf bila kumenyumpahi.

Saking aku cinta padamu.

Kau janda pun aku mau. Oooo ...!

Kepala kian terasa pening, suara Andi bernyanyi dengan gitarnya menggema di telinga. Ia pasti sengaja menyanyikan itu untuk menyindir setelah aku bercerita Ismi akan menikah dengan yang lain.

Ck.

Bahkan ketika ingin menyantap hidangan pun terasa tak enak, apa sesakit ini rasanya ditinggal nikah?

Hampir tiga minggu terlewat setelah kepulanganku dari Majalengka, bukannya lupa tentang Ismi. Aku malah semakin ingat padanya.

Ingat bahwa minggu depan adalah hari patah hati bagiku.

"Jangan diteruskan lagi, suaramu membuatku muak, Andi." Aku menyuap sesendok nasi goreng, ini sulit tertelan.

Mataku sudah buta.

Tak dapat melihat wajah yang rupawan lagi.

Selain wajahmu.

Hatiku sudah mati.

Tak dapat merasa kerinduan yang dalam.

Selain, rindu kepadamu.

Sumpah ai lop yu! Ai mis yu! Ai nid yu!

Aku tak bisa musnahkan kamu dari otakku ... uuuuu!

Andi semakin menjadi, ledekkannya keras dan niat' sekali menyindir dengan U-nya itu.

"Ck, apa kamu belum selesai juga? Makananmu sudah datang. Makanlah itu daripada terus mengoceh." Aku geram.

Pesanannya pun sudah datang. Ia makan dengan cengiran tengilnya yang menjengkelkan.

Ia memang begitu. Selalu meledek setiap saat, tapi ia adalah satu-satunya teman berbagi buatku. Gayanya memang sedikit urakan, potongan rambutnya pun ia buat garis motif halilintar membelah rambut dari ujung ke ujung, seperti C. Ronaldo, itu menurutnya, tapi menurutku potongan rambutnya itu seperti jalur lalu lintas kutu. 

Ia adalah teman satu kampus, kadang menyenangkan tapi tak jarang juga mengesalkan seperti sekarang.

"Justru wajahmu yang bikin nafsu makanku hilang," ujarnya.

Aku berdecak, hilang? Lihat saja, baru satu menit piring ia terima, isinya bahkan sudah hampir habis setengahnya.

Aku diam.

"Jangan terlalu seriuslah, Vin. Masih banyak wanita di dunia ini yang cantik-cantik."

"Yah, yang cantik itu banyak, Di. Tapi sulit menemukan gadis seperti Ismi."

"Eh, kamu itu masih muda. Baru dua puluh tahun, Vin! Come on, Ismi bukan satu-satunya pilihan. Di kampus kita banyak yang jauh lebih cantik, Bro. Contohnya aja si Erlin, Beuh!"

Brak!

Andi menggebrak meja hingga aku terkejut dan tersedak ati ampela yang tak masuk juga tak keluar dari kerongkongan.

Semua mata tertuju pada kami, mereka hanya menggelengkan kepala menyaksikan tingkah konyol sahabatku ini.

Sialan.

"Body aduhainya itu ... luar biasa, makhluk Tuhan yang paling sexy." Ia memuji dan seolah membayangkan lekuk tubuh Erlin di pikirannya.

"Hari ini kau sangat mengesalkan, Andi." Sendok kuletakkan di atas piring begitu saja.

Aku beranjak dari duduk dan membayar makanan yang baru dua suap kumakan. Nyatanya kini nafsu makanku yang hilang.

"Eh, mau ke mana? Habiskan dulu makanan ini, mubazir tau!" teriak Andi.

"Pulang, kalau mau habiskan saja." Aku melenggang pergi.

Lihat selengkapnya