Kedua tangannya memegang seutas tali yang melilit leher, ia masih bergerak-gerak di atas sana sebelum akhirnya perlahan gerakan Ismi mulai melambat.
"Ismi? Ismi ...!"
Aku bergerak cepat mendirikan kembali tangga dengan bantuan Andi aku naik dan meraih tubuh Ismi.
"Bertahanlah. Kamu akan selamat, Ismi."
Detakan jantung sudah mulai tak sesuai saat merasakan bobot tubuh Ismi berat di kedua tangan. Melepaskan tali yang mengikat lehernya, ia malah berontak dan memukuliku.
"Hentikan Ismi, apa yang kamu lakukan?" tanyaku yang masih menahannya di anak tangga. Ismi tak menjawab, ia malah semakin memukulku keras dan ingin menjauh.
Hingga akhirnya peganganku melonggar dan hilang keseimbangan.
Bug!
Tubuh kami menghantam tanah bersamaan, Ismi lantas terdiam. Semua gerakannya tadi hilang dan tergantikan oleh tatapan kosongnya ke atas langit yang mulai gelap.
"Ismi, apa kamu baik-baik saja?"
Plak!
Tak disangka akan mendapatkan ini, sebuah hantaman keras mendarat di pipi oleh gadis yang kuselamatkan. Reaksi umum yang terjadi adalah ... aku diam.
Tatapan Ismi sangat datar, air matanya menetes perlahan sambil melihatku dengan kebencian.
"Sadis." Andi berkata seolah meledek.
Ck! Sial, kenapa juga ia harus menyaksikan ini? Si mulut rombeng itu pasti akan meledekku hingga satu bulan penuh. Melihat sahabatnya yang berperan bagai pahlawan berkuda putih datang menyelamatkan seorang putri. Tapi bukan kata terima kasih yang ia dapat, melainkan sebuah tamparan.
Kulirik Andi sejenak.
"Baik ... aku akan pergi. Hati sudah bukan urusanku lagi kawan." Ia angkat tangan. Mundur dua langkah ke belakang sesudah itu pergi memberi kesempatan padaku bicara berdua dengan Ismi.
Baguslah kalau ia paham.
Ismi sudah terduduk di hadapanku saat kembali menoleh ke arahnya. Memeluk kedua lututnya ia menangis tersedu, derap napasnya tak teratur dan menyembunyikan wajahnya dariku.
Aku masih diam.
Tak mengerti apa yang terjadi. Tapi satu hal yang membuatku tak habis pikir, kenapa Ismi ingin mengakhiri hidupnya?
Andai dikatakan kalau sampai saat ini aku masih belajar, hal pertama yang kupelajari adalah mencari kesalahan apa yang telah kulakukan. Menemukan kesalahan itu dan mencoba memperbaiki diri.
Jika kesalahanku masih bisa termaafkan oleh diri sendiri dan orang lain. Lalu kenapa Ismi harus memilih jalan pintas?
Apa yang sudah ia perbuat? Atau apa ada yang membuatnya harus memilih bunuh diri? Apa begitu besarnya masalah yang ia miliki? Ah, pemikiran bodoh.
Kini segala pertanyaan itu luluh lantah oleh kesalahan yang kubuat sendiri. Kesalahan yang terlupakan dan membuat Ismi menderita.
Dia begini karena salahku juga.
"Ismi." Memegang bahunya, ia yang masih menunduk pun lambat laun mulai menaikkan wajah.
"Kenapa kamu ingin mengakhiri hidupmu seperti ini, Is? Apa alasannya?"
Dengan masih terisak ia menatap tajam, ia marah dan aku tahu meski tak berkata.
Tak ada jawaban.
"Lebih baik kuantar kamu pulang, calon suamimu pasti mencari." Aku mengulurkan tangan hendak membantunya berdiri tapi Ismi malah menepisnya.
"Aku benci kamu ...."
Ismi mulai menggerakkan tangan, tangisnya pun mulai pecah lagi untuk kesekian kalinya.
"Harusnya kamu biarkan aku mati, sekarang kamu malah menambah penderitaanku, aku benci kamu ... aku sangat membencimu." Ismi semakin menjadi, sedikit suaranya terdengar menyayat hati.
"Manamungkin aku membiarkanmu mati Ismi, aku pasti akan menyesal seumur hidup kalau kamu mati ....!"
Ismi geram.
"Ismi, aku minta maaf." Lagi, aku bicara padanya dengan bahasa isyarat.
Berharap ia bisa melihat gerak tanganku di balik langit gelap yang mulai menyelimuti.
Bug!
Sekali lagi ia memukul dan menyingkirkan tubuhku darinya, tangisannya pecah untuk kesekian kali. Jika ia bisa bicara, sekarang pastilah ia sudah mengatakan caciannya terhadapku.
"Pukulah aku sebanyak yang kamu inginkan, aku tak akan menghindar atau pergi dari sini."
Ismi kian terisak, menarik rambutnya sendiri seolah frustrasi dengan apa yang kusampaikan. Tak akan pergi dan tak ingin mundur, itulah yang akan terjadi.
Kuraih wajah Ismi, menyibak rambut kusutnya yang menghalangi pandangan menghadapkan ia agar menatap seluruhnya ke arahku.
"Maafkan aku, Ismi," lirihku. Menatap matanya dalam-dalam, ia diam. "Maaf karena aku telah melakukan kesalahan yang seharusnya tak pernah kulakukan."
Kata berganti gerak tangan menyatukan yang kami berdua, untaian kalimat panjang tersampaikan dengan jelas dan pasti.
"Sejak awal, harusnya aku tidak pernah meninggalkanmu. Aku tahu kamu sendirian, tapi alangkah egoisnya saat itu aku malah memilih tak melakukan apa-apa. Maaf karena aku tak ada untukmu disaat sulit. Aku adalah teman yang paling bodoh buatmu, Ismi."
Aku bukan menyesal karena telah mengikuti perintah ayah, tetapi yang kusesalkan adalah kenapa saat itu tak terpikirkan bahwa Ismi tak punya siapa-siapa lagi.
Ia sendiri, kerja keras sendiri, berpenghasilan kecil dan menanggung hidupnya sendiri. Aku adalah teman satu-satunya dua tahun lalu, selalu ada untuknya setiap saat dan memberi perlindungan layaknya teman.
Tapi aku malah meninggalkannya dengan tanpa ada kabar sama sekali. Apa yang terjadi, ia seperti apa, bagaimana keadaannya, aku hanya bisa membayangkan semua itu dalam pikiran, tapi aku lupa jika kami berdua seharusnya bisa berkomunikasi dengan gawai.
Aku telalu fokus terhadap perjanjian dengan ayah. Padahal jika aku bicara baik-baik, ayah pasti mengijinkanku berkomunikasi dengan Ismi walau jarak memisahkan kami. Asal aku tetap fokus belajar dan kuliah.
Itu adalah kesalahan fatal yang kubuat.
Ismi diam. Tak ada satu gerakan pun ia tunjukkan, tapi aku sadar kalau kekecewaannya terhadapku pastilah sangat besar.
Aku ... merasa sebagai seorang pecundang dan munafik. Berkata cinta namun tak ada pembuktian nyata bagi gadis yang kucintai. Sekarang ia marah, kurasa itu wajar.
"Andai kamu bisa mendengar, aku sangat mencintaimu, Ismi. Sangat, bahkan aku terlalu mencintaimu. Sesakit-sakitnya hati saat aku tahu kamu akan menikah, hatiku lebih sakit saat kamu melakukan kebodohan ini." Aku bersuara pelan seraya menatap matanya. Sengaja, agar ia tak mendengarnya.
Sekaligus menyadarkan diri kalau Ismi sampai detik ini bukanlah milikku.