Satu detik waktu serasa berjalan lambat menunggu datangnya esok hari. Ingin memastikan jawaban apa yang kuterima ataupun mempersiapkan diri dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.
Ismi pergi di saat ia akan menikah tanpa ada satu orang pun yang tahu. Ternyata begini rasanya bila menculik pengantin wanita meski yang kulakukan adalah untuk menyelamatkannya.
Takut?
Yah ... sedikit. Bagaimana jika calon suami Ismi sampai tahu tentang ini? Apa yang akan ia lakukan? Atau resiko apa yang akan menanti di depanku?
Pertanyaan itu terus membludak dan membuat sesak di dada.
Sekarang aku seperti orang buta, aku telah dibutakan oleh cinta sampai rela melakukan apapun demi Ismi. Dia telah membuatku tergila-gila padahal cintaku masih digantung di tiang bendera olehnya.
Miris.
Usai melakukan salat subuh berjama'ah di masjid bersama kakek, mata masih terasa berat seolah ada sebongkah batu kali yang bergelayut. Tak henti-hentinya menguap karena tak satu detik pun bisa menutup mata.
Sepertinya masalah ini memang cukup mengganggu di pikiran.
Baru beberapa detik menghempas tubuh ke sofa, terdengar derap langkah kaki menghampiri hingga spontan menoleh ke arahnya.
Ternyata Ismi. Ia mengenakan gamis maroon dengan tanpa memakai kerudung. Rambutnya seperti biasa ia gerai tanpa diikat. Seulas senyuman manis ia torehkan beberapa saat sebelum duduk bersebrangan denganku.
"Pagi ...." Ia menyapa.
Aku hanya tersenyum tipis lalu membenarkan posisi duduk, raut wajahnya yang tadi berbinar kini sedikit murung.
"Ada apa dengan wajahmu, Is?" tanyaku.
Ia diam. Sesaat kemudian menggerakkan kembali jemari lentiknya. "Apa kakek dan nenekmu sudah mengizinkanku tinggal di sini?"
Aku mengulum bibir sendiri sedikit berat mengatakannya walau hanya tinggal menggerakkan tangan. Aku menggelengkan kepala pelan.
"Apa lebih baik aku pergi saja dari sini?"
"Jangan ...!" Aku sedikit berteriak.
Ia mengernyit.
"A-eu, maksudku ... jangan." Kuganti jawaban tadi dengan gerak tangan. Ia baru paham. "Jika mereka tak mengizinkanmu disini, nanti kucoba cari kontrakan untukmu."
"Maaf kalau aku menyusahkanmu ...." Ismi kembali menggerakkan tangannya.
"Tidak, Is. Kamu tidak pernah menyusahkanku. Sebagai teman, bukankah kita harus saling menolong?"
Ia tersenyum.
Baik ... dua kali sudah aku menyebutkan 'itu'. Kata teman sekarang bagai sebuah pisau yang menusuk hati. Ah, itu sangat bodoh.
"Assalamu'alaikum ...."
"Waalaikum salam." Aku nenjawab salam.
Kakek duduk bersama kami, baju koko yang tadi ia kenakan pun sudah berganti dengan kaos berwarna putih polos beserta sarung. Tak luput juga sebuah peci yang selalu melekat di kepalanya.
Aku menelan ludah, nenek tampak berjalan lebih lambat menyusulnya.
"Arvin, sebelum kakek memutuskan Ismi tinggal di sini atau tidak. Lebih dulu kakek ingin bertanya beberapa hal padamu," ucap Kakek Abdurrahman.
"Apa itu?"
Kulirik Ismi, gadis itu diam di tempatnya dengan tampak tegang. Kedua telapak tangannya saling meremas dan menatapku penuh tanya dan harap.
"Apa gadis ini benar temanmu?"
Aku mengangguk dan mengiyakan jawaban kakek.
"Apa kamu tahu seberapa besar konsekuensi yang akan kamu dapat atas tindakanmu ini?" tanya kakek lagi.
Aku terdiam sejenak. "Ya, aku tahu ...."
"Apa kamu siap dengan resiko yang akan kamu dapat? Karena kakek tidak akan membantumu sama sekali dalam hal ini."
"Maksud kakek? Aku tidak mengerti." Kedua mata menyipit, tak mengerti apa maksud perkataan kakek.
Jantungku malah semakin berdegup cepat tak beraturan, pertanyaan muncul kembali dalam pikiran. Apa mereka mengizinkan Ismi tinggal di sini atau tidak?
"Tanggung jawab, Arvin." Nenek menambahi. "Kamu membawa gadis ini ke sini dengan masalah yang kalian bawa. Dan kamu sebagai laki-laki, harus berani bertanggung jawab atas apa yang kamu lakukan. Jika pada satu hari nanti calon suaminya mencari, kamu harus siap dengan jawaban apa yang akan kamu berikan. Atau apa alasanmu membawa lari calon istrinya."
Aku sedikit tercekat mendengar perkataan nenek, hal itulah yang mengganggu semalaman suntuk. Entah kapan itu, aku yakin diantara mereka akan datang mencari Ismi ataupun aku.