Drrt'
Gawaiku bergetar di saku celana, merasakan hal itu kuputuskan untuk menepikan motor ke tepi jalan melihat siapa yang memanggil malam-malam begini.
"Andi?" gumaku. "Assalamu'alaikum, ada apa, Di?"
"Waalaikum salam, Vin. Bagaimana? Apa kamu sudah bertemu dengan Dion? Lalu apa katanya?" Andi bertanya di telepon.
"Sudah, sekarang aku sedang diperjalanan pulang dari rumahnya. Dia mengatakan akan mebawa saja motornya ke bengkelku besok sore. Aku juga sudah melihat kondisi motonya itu, dan kerusakannya pun cukup parah."
"Oh, oke. Besok sore aku akan datang ke bengkel."
"Baiklah. Assalamu'alaikum ...."
Telpon dimatikan. Menghela napas panjang hari ini cukup melelahkan dengan segala tugas kuliah dan pekerjaan diluar itu. Seperti halnya tadi, ada seorang teman yang memintaku melihat keadaan motornya yang menganggur di rumah sejak berabad lamanya. Jika aku mampu membetulkan motornya itu, maka ia akan membayarku lebih.
Alhamdulillaah. Setidaknya aku tak begitu merepotkan ayah dalam urusan uang saku.
Ingin memasukkan kembali gawai dalam saku celana, tapi gerak tangan malah terhenti karena tatapan tertuju pada sebuah benda mungil yang menggantung di sudut gawaiku.
Seutas tali berwarna hitam dengan benda berbentuk seperti sebuah pisau kecil warna cokelat sebagai mahkotanya. Inilah satu dari Ismi yang spesial, ia memberikan gantungan ini padaku saat terakhir pertemuan kami.
Ia berkata, jika ini adalah benda yang paling berharga untuknya. Yang selalu ia bawa kemanapun dan tak pernah ia berikan pada orang lain. Tapi ia memberikan benda kesayangannya ini padaku sebagai tanda terimakasih.
Aku tersenyum. Tak sabar menunggu hari pertemuan kami berikutnya. Benda ini seolah menjadi penghubung kerinduanku terhadap Ismi.
"Tunggu aku dua hari lagi, Is."
Kumasukkan gawai dalam saku celana dan menghidupkan mesin motor. Jalanan cukup sepi karena ini sudah pukul sepuluh malam.
Perkebunan karet menghampar luas di samping, dan ini masih cukup jauh dari rumah hingga aku sedikit menaikkan kecepatan motor.
Namun saat melaju kencang, tiba-tiba saja ada sebuah mobil begitu mepet dan menyerempet motor sampai spontan kuambil langkah membanting stir ke kiri.
Brak!
"Astagfirullaahal'adziem ...."
Motor beserta tubuhku membentur aspal dan bergulingan di bebatuan kerikir pinggir jalan, cukup keras karena kecepatan motor yang kubawa pun cukup kencang.
Memegangi bahu kananku, ini sangat sakit. Sepertinya terkilir atau patah. Apalagi bagian perutku juga tak kalah sakit akibat menghantam stang motor.
Aku pun membuka helm dan meletakkan asal, seluruh pakaianku sebagian koyak karena bergesek dengan aspal sebelum terdampar di bebatuan ini.
Aku mencoba bangkit dengan sisa tenaga, terlihat mobil yang menyerempetku tadi berhenti dan keluarlah beberapa orang di dalamnya.
Laki-laki semua, mereka menghampiri cepat ke arahku.
"Bawa dia dan motornya ke tempat aman." Perintah salah satu dari mereka.
Aku mengernyit. "Ada apa ini? S-siapa kalian?"
Mereka tak menjawab. Dua pasang tangan kekar menyeret paksa tubuhku yang masih terasa tak karuan akibat terjatuh tadi.
Napas mulai terengah, kedua tangan terikat, sakit mendera bahu dan perutku secara bersamaan. Hampir tak sanggup lagi membuka kedua mata dalam laju kendaraan, salah satu dari mereka mulai berkata.
"Di mana Ismi?"
"Apa maksud kalian?"
"Jangan pura-pura bodoh! Aku tahu kau yang telah membawa kabur calon istriku!" Ia membentak keras.