Weekend adalah waktu yang sangat ditunggu-tunggu oileh para siswa. Terbebas dari ocehan Mul dan terbebas dari konsep belajar dalam waktu memanglah menjadi idaman para siswa. Oleh sebab itu para siswa memiliki caranya masing-masing untuk menikmati weekend. Ada yang memilih pergi berbelanja ke mall, ada juga yang memilih untuk pergi menikmati alam tentunya bukan alam dari Kota Merang yang dipenuhi dengana asap kendaraan dan pabrik hasil hilirisasi, dan ada juga yang memilih untuk menghabiskan waktu weekendnya dengan berdiam di rumah. Yuri kala itu memilih opsi terakhir, ia memilih hal itu bukan karena ia tak punya teman untuk diajak keluar namun sebaliknya temannya yang ingin datang ke rumah Yuri. Yap di weekend itu di tengah rumahnya yang sunyi Yuri sedang menunggu temannya untuk datang. Tak beberapa lama kemudian bel kediaman Hartono berbunyi, Yuri pun langsung pergi ke depan dan membukakan pintu.
“Otsu selamat pagi E… Anya?” ucap Yuri yang nampak terkejut dengan tamu yang hadir kala itu. Tamu tersebut ternyata adalah Anya sedangkan Yuri sedang menunggu Edelyn.
“Lu kok tahu rumah gue?” tanya Yuri.
“Edie yang ngasih tahu.” balas Anya.
“Ngomong-ngomong soal Edie, dimana dia?”
“Loh dia belum datang? Padahal dia nyuruh gue buat cepetan berangkat.”
“Yaudah mau masuk?”
“Hmm … lu gak tanya napa gue datang kemari?”
“Gak perlu karena gue udah tahu pasti lu dimintain tolong buat nemenin Edie.”
“Kalau begitu, maaf mengganggu,” ucap Anya sembari melepaskan sepatunya dan masuk ke dalam rumah.
Ketika masuk ke rumah, Anya dikejutkan dengan suara imut nan lucu yang familiar di telinga Anya.
Miaww … Miaww …
“Ah Schrodinger, kamu masih lucu aja,” ucap Anya sembari mengelus-ngelus Schrodinger yang semakin nyaring meongannya.
Anya pun duduk di sofa yang berada di tengah ruang keluarga tepat di hadapan TV yang lumayan besar sembari memangku Schrodinger. Anya pun nampak sedang menganalisis kondisi rumah Yuri sembari mengelus-ngelus Schrodinger. Ia berusaha mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya tentang Yuri dari rumahnya. Usahanya berbuah hasil karena hampir seluruh foto yang ada di ruang tamu adalah foto masa kecilnya Yuri.
“Mau minum teh apa jus jeruk?” tanya Yuri.
“Ah teh saja.”
“Baiklah.”
Beberapa saat kemudian Yuri kembali sembari membawa segelas teh.
“Ngomong-ngomong lu itu anak favorit ya?”
“Kok lu berpikiran gitu?”
“Soalnya tuh foto lu banyak yang dipanjang.”
“Oh itu bukan foto gue, itu foto abang gue.”
“Ah masuk akal,” ucap Anya sembari menyeruput teh.
Beberapa saat kemudian suara bel berbunyi, Yuri pun langsung menuju pintu depan. Ketika membuka pintu Yuri terkejut karena gak ada seorangpun di sana. Namun, Yuri yang sudah mengetahui sifat dari Edelyn sadar kalau Edelyn sedang bersembunyi karena takut dan malu. Yuri pun melihat ke kiri dan ke kanan hingga akhirnya pandangannya terfokus kepada tong sampah yang berada di samping kanan. Tong sampah itu lumayan besar sekitar anak perempuan SMA. “Gak mungkin kan?” pikir Yuri. Yuri pun menghampiri tong sampah itu dan membukanya. Tentu saja di dalamnya cuma berisi sampah. Tiba-tiba saja Yuri mendnegar teriakan dari balik pohon mangga yang masih berada di propertinya. Di situlah ternyata Edelyn berada, Edelyn berteriak karena di pundaknya teradapat ulat yang merambat. Yuri pun langsung menghampirinya dan menyuruhnya untuk diam tak bergerak, kemudian Yuripun menyentil ulat itu hingga jatuh ke tanah.
“Kamu gak apa-apa?” tanya Yuri.
“Aku gak apa-apa,” balas Edelyn sembari menggaruk lehernya. “Sepertinya kamu kena bulunya deh, masuk dulu dah aku punya obat anti gatal.”
Edelyn pun masuk ke dalam rumah masih menggaruk-garuk badannya. Sesampainya di dalam Anya sangat terkejut melihat Edelyn yang badannya merah-merah.
“Edie!! ada apa denganmu?” tanya Anya dengan panik.
“Ada ulat bulu yang masuk ke dalam bajunya. Bentar gue ambilin bedak anti gatal dulu,” ucap Yuri sembari berjalan menuju lantai dua.
Beberapa saat kemudian Yuri turun sembari membawa bedak anti gatal.
“Anya tangkap,” ucap Yuri sembari melempar bedak ke arah Anya.
Untungnya Anya sigap untuk menangkap bedak tersebut, Anya pun langsung membuka jaket tebal yang sedang dipakai oleh Edelyn. Anya pun mulai menaburkan bedak tersebut ke bagian leher sampai dada atas Edelyn yang sekarang tinggal memakai kaos. Tentu saja bagian atas Edelyn sedikit menonjol, sementara itu Yuri dengan polosnya melihat kejadian itu. Menyadari kalau Yuri masih disana membuat Anya sedikit geram.
“Ehem do you mind?” tanya Anya.
“Ah I see, kalau begitu gue ke atas nyiapin naskah. Kalau sudah selesai bilang ya,” balas Yuri sembari berjalan menuju lantai dua.
Beberapa saat kemudian.
“Udah aman?” teriak Yuri dari atas.
“Iya lu boleh turun,” balas Anya.
Yuri pun turun sembari membawa skrip naskah.
“Jadi Edie gimana kondisimu?” tanya Yuri.
“A-aku sudah mendingan kok,” balas Edelyn.
“Bagus jadi kita bisa mulai latihannya?”
“Edie jujurlah, kalau kamu masih sakit gak papa kok,” ucap Anya.
“Makasih nya tapi aku sudah memantapkan diriku untuk datang ke sini jadi aku siap,” balas Edelyn.
“Bagus aku semangatmu, jadi kalau gak salah kamu butuh teman latihan untuk scene dansa kan?”
Edelyn hanya mengangguk.
“Kalau begitu sebelum kita mulai, apakah kamu sudah pernah berdansa sebelumnya?” tanya Yuri.
“Sewaktu kecil aku pernah les dansa tapi aku selalu payah tentang hal itu.”