Bulan bahasa semakin mendekat, beberapa kelas mulai intens dengan latihan mereka, ada juga yang santai karena gak terlalu memedulikannya. Sementara itu sang tokoh utama kita Yuri sedang heran melihat kondisi temannya yang dipenuhi perban di sekujur tubuhnya.
“Jadi lu bisa jelasin kenapa tubuh lu penuh dengan perban?” ucap Yuri dengan heran.
Teman Yuri yang sekujur tubuhnya dipenuhi oleh perban tersebut tentu saja adalah Iono. Kita dan Edelyn sudah tahu alasan mengapa Iono dipenuhi dengan perban namun bagi Yuri ini adalah pemandangan yang aneh dan mengkhawatirkan.
“Ayolah ini bukan apa-apa kok,” ucap Iono.
“Jangan-jangan lu habis tawuran ya?” tanya Yuri,
“Ah iya tawuran, gue habis tawuran,” balas Iono.
Di tengah pembicaraan itu tiba-tiba Edelyn yang baru saja tiba di sekolah nampak sangat terkejut melihat kondisi Iono.
“Iono kenapa kamu masuk sekolah? Seharusnya kamu masih beristirahat di klinik dokter Fakhri,” ucap Edelyn nampak sangat khawatir.
“Oh Edelyn terima kasih atas kemarin tapi gue gak bisa kalau terus berbaring di kasur,” balas Iono.
Sementara itu Yuri hanya menatap curiga ke arah Iono, ia merasakan sesuatu yang mencurigakan sedang terjadi. Iono menyadari tatapan curiga dari Yuri dan ia sadar kalau mau tak mau ia harus menjelaskan semuanya.
“Jadi tawuran ya?” tanya Yuri dengan sinis.
“Iya-iya nanti pas istirahat bakal gue jelasin semuanya,” balas Iono.
“Bagus karena gue penasaran bagaimana kalian bisa tiba-tiba jadi akrab gini,” ucap Yuri sembari melihat ke arah Iono dan Edelyn. Beberapa saat kemudian bel tanda masuk berbunyi, semua siswa kembali ke tempat duduknya masing-masing.
Jam istirahat.
Sesuai janjinya Iono mau menceritakan kronologi tentang dirinya yang sampai diperban. Namun, Iono bilang kalau ia ingin ngasih tahunya di tempat yang sepi dan tentu saja kelas bukanlah tempat yang ideal. Iono pun mengajak Yuri ke atap yang mana sebenarnya dilarang untuk dimasuki oleh siswa. Karena itu adalah tempat terlarang membuat Iono yakin kalau mereka bisa berbincang intens tanpa ada gangguan. Yuri pun hanya mengangguk setuju dan berjalan menuju ke atap.
Sesampainya di atap.
“Jadi lu mau jelasin semuanya?” tanya Yuri.
Tiba-tiba saja ekspresi santai dari Iono berubah menjadi serius. Yuri yang merupakan teman sedari kecil Iono sadar kalau yang akan dikatakan oleh Iono adalah hal yang serius.
“Gue bakal jelasin tentang luka ini dan setelahnya gue mau bilang sesuatu tentang kejadian kemarin,” ucap Iono serius.
Iono pun menjelaskan kejadian kemarin mulai dari saat dia nongkrong sampai saat ia harus menghadapi tiga pendekar silat.
“Wow cerita lu keren juga, kayak di film-film,” ucap Yuri nampak terkesan.
“Woii ini bukan waktunya bercanda,” balas Iono.
“Gue super serius.”
“Anyway yang penting lu jangan main-main, yang lu lawan tuh anak gubernur tahu.”
Mendengar hal itu hanya membuat Yuri tertawa.
“Hahaha sepertinya lu salah paham, ngapain juga gue ikut campur urusan anak gubernur,” ucap Yuri.
“Gue khawatir sama lu,” balas Iono nampak khawatir.
“Tenanglah, lu harusnya khawatirin tubuh lu tuh yang penuh perban itu,” balas Yuri. Yuri pun berjalan melewati Iono sembari menepuk pundaknya.
Sepulang sekolah.
Setelah bel berbunyi Yuri langsung pergi keluar kelas dengan terburu-buru. Melihat hal itu membuat Edelyn nampak heran, sementara itu Iono berjalan menuju Edelyn.
“Edelyn jangan lupa habis ini kita ada latihan buat bulan bahasa,” ucap Iono.
“Eh Iono, kamu benar tapi tuh si Yuri kok malah pergi duluan?” balas Edelyn.
“Dia ada urusan jadi lagi-lagi gue harus gantiin dia.”
“Lagi-lagi dia absen latihan, hal ini bikin gue mikir dia beneran peduli gak sih.”
Kalimat terakhir bukan diucapkan oleh Edelyn maupun Iono namun oleh Dion yang sedari tadi berada di belakang mereka.
“Mungkin dia ada ekstra sepak bola kali, oh iya kan tim sepak bola bentar lagi bakal main di penyisihan grup
“Gue anggota OSIS jadi gue tau kalau pertandingannya memang besok tapi tim bola tidak ada latihan sehari sebelum pertandingan dan lu No kelihatannya bela dia banget,” ucap Dion.
“Ya ntar dia gue kasih tahu yang penting sekarang kita fokus dulu latihan supaya ntar pas bulan bahasa bisa tampil keren,” balas Iono.
“Anuu Iono.”
Lagi-lagi suara baru bermunculan satu persatu-satu. Kali ini suara itu berasal dari seorang anak laki-laki bertubuh kurus pendek sekitar 160 cm dan rambut rapi belah tengah. Dengan kata lain laki-laki itu berasal dari grup culun.
“Dan lu siapa?” tanya Iono.
“Ih lu parah banget sampai gak tahu temen sekelas sendiri,” ucap Dion.
“Ah gak papa, ini hal biasa kok. Namaku Dimas,” ucap Laki-laki itu.
“Jadi apa mau lu?” tanya Iono.
“Kenapa tiba-tiba lo jadi kayak nyolot gitu?” tanya Dion.
“Kapan gue nyolot?” balas Iono.
“Lah tuh,” balas Dion.
Dion dan Iono sibuk saling membantah sampai lupa dengan Dimas yang nampak bingung dan ragu mau bilang sesuatu. Hal yang tidak mungkin terjadi, Edelyn yang terkenal sebagai putri malu karena sikapnya yang selalu susah untuk berinteraksi akhirnya membuat langkah pertama dengan bertanya kepada Dimas.
“Jadi Dimas apa ada yang mau kamu bicarakan?” tanya Edelyn.
“Ah iya, sebenarnya aku cuma mau nanya apakah aku bisa ikut latihan drama nanti? Soalnya aku selalu ikut latihan sebagai asisten ketika Yuri yang mimpin,” ucap Dimas.
“Ya ikutlah, kenapa lu perlu nanya?” tanya Iono.