Cinta Buta Sulungku

Rosalia
Chapter #2

Perjuangan Ibu dan Warisan Ayah

 Perjuangan Ibu dan Warisan Ayah

Guru pertamaku, Ibu

Menyulap wasiat menjadi kasiat

 

Ternyata cinta tak dapat bertahan sepanjang waktu perjuangan mendapatkannya karena harus dipisahkan oleh maut. Saat itu memang ibu hancur tapi aku selalu membujuk hatinya untuk tetap tegar. Walaupun membutuhkan waktu yang tidak sebentar, aku akan sellau menghiburnya. Hilangkan semua duka lara demi aku dan adikku.

Hanya sebuah tegal pinus yang mirip dengan hutan adalah satu-satunya warisan ayah. Semenjak ayah pergi untuk selama-lamanya, ibu tak pernah berniat untuk menikah lagi. Baginya, ayah adalah lelaki baik yang pernah dimiliki. Baginya, ayah adalah cinta pertamanya baik dulu, sekarang dan selamanya. Dan demi menjaga buah cinta mereka agar tidak rapuh, ibu fokus mengasuh kami seorang diri sehingga harus bekerja keras untuk melanjutkan hidup. Banyak lelaki yang mendekatinya namun ibu teguh pada pendiriannya. Tak ada yang bisa menggantikan posisi ayah di hatinya.

Ibu sedang asyik menikmati perannya sebagai single parent yang menghidupi dua anaknya, aku dan hafa. Ibu dulu sebagai ibu rumah tangga hanya berkutat dengan pekerjaan rumah tangga, memasak, mencuci, mengurus kami dan berbagai berbagai pekerjaan rumah tangga lainnya, tak pernah bekerja di kantor atau manapun karena ayah melarangnya. Dan saat ini ibu dipaksa memutar otak demi mendapatkan pemasukan untuk bisa tetap makan.

Dulu ayah pernah mendirikan pabrik kertas rumahan tapi harus terhenti, karena divonis penyakit kanker kelenjar getah bening. Bertahun-tahun harus berkawan dengan obat untuk memperpanjang umur. Harta ludes untuk biaya terapi maupun wira-wiri setiap waktu harus berkunjung ke rumah sakit. Semoga ayah tenang di sana Amiiin….Bahagialah di surga, kami selalu berdoa untukmu.

Perlahan ibu mulai bangkit dengan melirik pintu bangunan kuno yang terbuat dari kayu tepat di sebelah kanan rumah kami, “Pabrik Gulen.” Pabrik yang seharusnya beroperasi hingga saat ini namun kini usang tak terurus. Dibantu oleh paman lewa, dulunya berprofesi sebagai buruh tani yang biasa dimintai tolong para tetangga yang membutuhkan tenaganya untuk menggarap sawah, kini ibu mulai membuka semua plastik yang menutupi mesin-mesin itu. debu-debu yang berterbangan seakan tak rela untuk ditiup kasarnya kemoceng bulu ayam. Perlu beberapa hari untuk menyegarkan kembali isi pabrik yang sudah reyot itu. Tak ada yang mengurusnya, tak ada yang peduli hanya daun yang berserakan dan hewan-hewan kecil yang setia menungguinya.

Saat itu usiaku 14 tahun dan adikku, hafa 7 tahun. Aku masih lah seorang bocah pelajar kelas IX SMP dan hafa kelas 1 SD, ibu memutuskan untuk menyekolahkan kami di sekolahan yang sama di kampungku. Yayasan ini memang dirancang untuk siswa dan siswi dari SD hingga SMA. Hafa sekolah sampai Pukul 10.00 WIB sedangkan aku sampai pukul 14.00 WIB. Dia sering diantar pulang pak mur, guru kelasnya. Tak jarang aku juga mengantarannya pulang, kebetulan jam pulangnya bebarengan dengan waktu bel istirahatku jadi aku bisa mengantarnya pulang sekalian makan siang di rumah lalu kembali lagi ke sekolah. Jarak kelahiran yang cukup jauh membuatku ikut bertanggung jawab menjaganya.

“Selamat pagi Ibu…,” sapaku dengan wajah ceria di pagi hari.

“Selamat pagi Gulen, Hafa…maaf ya Ibu tidak bisa menemani kalian sarapan pagi karena harus segera ke pabrik.” Ibu nampak tergesa-gesa.

“Memangnya…Ibu sudah sarapan?” tanyaku.

“Sudah Nak, pagi-pagi tadi, Gulen hati-hati berangkat sekolahnya jaga Hafa ya…, Hafa yang pinter ya di sekolah.” Seru Ibu sambil menyodorkan tangannya kemudian berlalu sesegera mungkin menuju pabrik yang hanya beberapa langkah saja.

Kami pun tersenyum mengangguk dan serentak. “Semangat Bu…,”

Deru mesin fordiner yang menggetarkan kubin rumah pun sudah mulai terdengar, namun seperti mesin yang sudah rusak parah. Mesin produksi kertas setengah pakai yang dibeli almarhum ayah dengan susah payah, menjual sebidang tanah yang dibelinya ketika masih menjadi supervisor di PT ABESE PAPER Jakarta. Selama lima tahun meratau meninggalkan kami, ayah bertekat untuk kembali ke kampung halaman di Yogyakarta. Pikirnya, yang terpenting bukanlah terletak pada banyak atau sedikitnya harta tapi keluarga yang paling utama, Ia tak mau terlalu asyik tinggal di tanah rantau, tak juga kembali pulang dan bahkan kecantol tinggal di kota.

“Terima kasih Bu Majah sudah bersedia menerima Saya bekerja di sini.” Kata Paman Lewa tersenyum sumringah.

Ibu hanya menanggapinya dengan senyuman.

“Paman sepertinya mesin-mesin ini perlu diservice sudah lama tidak pernah beroperasi, kita cek dulu mana saja yang bisa berfungsi atau tidak,” ucap Ibu

“Iya Bu, nanti Saya telepon petugas service nya.”

Baru hari ini aku menyaksikan ibu begitu lihai memainkan mesin-mesin itu. Gemuruh mesin saling saut menyaut menghasilkan setumpuk kertas yang putih mulus nan bersih. Tak pernah ada keraguan dalam jiwa ibu dalam melangkah memencet tombol yang berwarna warni, tentu mempunyai fungsi yang tak sama. Butiran demi butiran debu yang terkadang masih menempel di pipinya yang merona menambah keihklasan ibu dalam mengolah pabrik itu. Dari besi-besi tua yang tak enak dipandang itulah ia belajar menjadi tombak untuk mematahkan kayu-kayu menjadi segrumpil serbuk-serbuk lalu disulap menjadi lembaran putih. Pasti ini berat untuk Ibu.

Di sekolahpun aku gelisah selalu memikirkannya bertempur melawan mesin-mesin yang tak mampu mengalihkan perhatiannya. Aku hanya bisa membantunya dengan doa semoga sehat selalu ibu dan sekolah yang rajin serta pandai agar berprestasi adalah cara jitu untuk membuat ibu bahagia sehingga perjuangannya tak sia-sia.

Kebetulan hari ini pulang cepat karena para guru akan mengadakan rapat tahunan. Aku pun mengajak hafa segera pulang. Dengan jalan kaki aku selalu menggadeng erat tangan hafa yang suka lari-lari mengejar kupu-kupu dan kadang mengejar pedagang es krim padahal kami tak bawa uang lebih, kadang juga kami berhutang pada tukang es krim itu.

Hmmm..., melewati taman bunga mini milik pak salih kami berhenti sejenak untuk menikmati indahnya bunga yang bermekaran. Hafa sangat menyukainya, bunga paling indah menurutnya adalah mawar kuning yang jarang dijumpai di manapun. Setiap kali lewat pasti dia foto selfie. Banyak sekali koleksi fotonya diantara bunga-bunga yang cantik. Begitulah anak keci. Terkadang dia suka menangis sendiri melihat kupu-kupu yang hinggap di tanaman bunga itu.

“Kak…, apakah kupu-kupu itu adalah Ayah?” sambil menunjuk kupu-kupu yang beterbangan diantara bunga-bunga di kebun itu.

“Kupu-kupu berasal dari kepompong Fa, masak Ayah berubah jadi kupu-kupu?” terangku.

“Kata teman-temanku orang yang meninggal akan berubah menjadi kupu-kupu dan mengunjungi keluarganya.” Tambahnya.

“Enggak Fa, Ayah sekarang sudah tenang di surga. Kalau Kamu kangen dengan Ayah doakan saja, itu adalah obat yang sangat manjur.” Nasihatku padanya.

“Begitu ya Kak…ya deh kalau Aku kangen akan berdoa.” Katanya dengan senyuman.

“Ya sudah Kita pulang yuk…pasti Ibu sudah menunggu.” Aku pun berlalu menuju rumah.

Sejuknya suasana kampung dengan pepohonan yang rindang dan bunga-bunga yang bermekaran mampu menerobos hatiku yang gelisah berubah menjadi gairah. Sudah puas kami bermain-main di sana lalu melanjutkan langkah kaki menuju rumah. Terik mentari yang mulai menyemburkan hawa panas membuat kami sedikit berlari.

Sesampainya di rumah kudapati ibu terengah-engah nafasnya, seperti baru saja melakukan pekerjaan yang sangat berat. Terang saja berat duka laranya masih menyelimuti jiwa. Kesepian dihatinya ia lampiaskan dengan aktifitasnya di pabrik yang akan mulai dibuka.

“Bu…, Aku ingin membantu Ibu menjalankan mesin itu.” Sahutku yang masih mengenakan seragam sekolah.

Lihat selengkapnya