Pabrik Kertas
Dari kertas yang disulap menjadi universitas
Dari balik jendela kamar yang kubuka, kuletakkan tangan untuk menyangga kedua daguku menatap sebuah pohon mangga yang kutanam bersama ayah. Pohon mangga yang kuberi nama MUGH (Maja, Umar, Gulen,dan Hafa) akan menjadi saksi bisu kebahagiaan keluarga kami. Seketika teriakan paman lewa membuyarkan lamuananku.
“Buuu...Bu Maja…Bu…,”
Seketika aku lari keluar kamar.
“Ada apa Paman kok teriak-teriak…?” tanyaku agak ketus.
“Ibu mana Gulen? orang yang mau kerja disini sudah datang.”
“Owalah…Paman…Paman…Aku kira ada apa…hufttt…mengagetkan orang saja, cari saja di dapur.” Sambil lalu kutunjuk arah dapur.
“Baik Gulen, maafkan Paman ya…soalnya setiap hari berteman dengan kebisingan jadi bicaranya keras.” Dengan sikap polosnya Paman Lewa terkadang lucu.
Biar saja Paman mencari ibu di dapur, pikirku. Toh paman lewa sudah biasa masuk keluar rumahku.
“Bu…hari ini Dikin, Raji dan Sani sudah mulai bekerja Bu.”
“Iya Paman, langsung diarahkan saja job desk mereka,” pungkas Ibu.
“Baik Bu maja, Saya permisi.” Pergi berlalu
Setelah berjalan beberapa tahun, hasil sudah terlihat dari pesanan yang membludak dan mitra ayah dulu sudah mulai melirik kembali pabrik gulen. Kalau hanya dikerjakan berdua, pasti kewalahan dengan segala pertimbangan akhirnya ibu membuka lowongan pekerjaan. Ada beberapa orang yang dulu pernah bekerja disini, masuk kembali. Jadi ibu tak susah lagi untuk mengarahkan.
“Bu, ramai sekali, biasanya hanya ada beberapa orang saja?” tanyaku penasaran.
“Alhamdulillah Gulen pabrik Kita sudah mulai dikenal lagi sehingga permintaan distributor juga tak kalah banyak, langganan ayah dulu juga mulai berdatangan.”
Tiba-tiba paman lewa yang saat ini menjadi orang kepercayaan ibu muncul entah dari mana, memotong pembicaraan kami.
“Bu…ada orang yang ingin bertemu.”
“Siapa Paman? dimana orangnya?”
“Katanya sudah janjian sama Ibu, mau membicarakan terkait penawarannya menyediakan bahan baku Kita yang sudah menipis Bu…”.
Ibu segera bergegas menemui orang itu. Bahan baku pembuatan kertas adalah pohon pinus yang diolah menjadi serbuk dengan mesin kemudian menjadi lembaran kertas. Dari awal mulai, ibu membuang rasa takut untuk mengoperasikan kembali pabriknya. Dengan segala permasalahan yang ada. Mulai dari mesin, karyawan hingga bahan baku. Belum pernah ibu membeli bahan baku dari orang lain karena mengambil sendiri dari tegal pinus yang kini sudah mulai menipis. Beruntung ibu bertemu dengan orang-orang baik, yang bisa membantu proses berjalannya pengolahan kayu.
Paman lewa yang sudah sedikit paham mengenai produksi kertas bisa membantu ibu dengan cekatan. Mulai dari mengangkat kayu yang sudah ditebang dari tegal pinus yang jaraknya sekitar 100 meter dari rumah menggunakan gerobak motor yang saat ini dikerjakan oleh pak raji dan anak buahnya, memotong kayu menjadi kecl-kecil setelah dibuang kulitnya dengan mesin pengupas kulit di pimpin pak sani, lalu disimpan di tempat penampungan untuk beberapa bulan dengan tujuan untuk melunakkan potongan-potongan kayu yang disebut log tugasnya Pak Dikin dengan beberapa personilnya.
Mereka adalah tim yang solid, membuat hati ibu bahagia bisa menghidupakan kembali “Pabrik Gulen” yang sengaja dirintis untukku. Ibu menginginkan suatu saat nanti aku lah yang menjadi pemiliknya. Jujur saja aku ingin menjadi anggota DPR RI bukan pemilik pabrik. Bagiku pekerjaan itu jauh lebih mulia, menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat. Tapi aku tak pernah mengungkapkannya pada ibu, aku takut mencederai hatinya.
Harapan ibu kepadaku tidak bisa ditawar untuk melebarkan sayap didunia industri. Baginya menjadi pemilik pabrik yang dirintisnya adalah suatu hal yang membanggakan. Namun jiwaku menolak. Saat itu hari mendung langit mulai menghitam padahal waktu belum begitu sore, dalam kegelapan aku asyik mengobrol dengan ibu membahas semuanya saja yang terlintas dipikiran kami. Tiba-tiba terbesit dalam benakku untuk menyudahi kebisingan yang menyelimuti jiwa setiap waktu dengan suara-suara yang sebenarnya penting untuk hidupku namun jiwa ku tak tenang, terganggu.
“Bu…Aku ingin Kita pindah dari sini,” kataku memulai membahas.
Ibu menunduk pilu. “Kenapa Gulen?”
“Aku bosan dengan suasana rumah, terlalu berisik.” Dengan nada sedikit meninggi.
“Ada apa denganmu Gulen? pabrik ini sumber mata pencaharian Ibu. Sejak kecil Kamu tinggal disini dan bertahun-tahun tak pernah protes. Dari sini lah Nak, kebutuhan Kita bisa tercukupi.” Jelas Ibu panjang lebar
“Bukan begitu Bu…, Aku merasa rumah ini sudah seperti pasar. Apakah Ibu tidak ingin pindah?” tanyaku kembali
“Tidak.” Jawab Ibu singkat lalu pergi meninggalkanku sendiri di sudut ruangan ini.
Andai kalian tahu betapa berat perjalanan ibu melanjutkan hidup ini tanpa ayah, betapa rumit ibu mewujudkan kembali pabrik kertas. Kenangan yang belum terhapus dari rumah ini adalah pabrik yang saat ini sedang dirintis untuk melanjutkan perjuangan ayah, dengan tujuan supaya kelak kalian akan hidup enak sebagai pemilik pabrik. Batinnya.
“Jika Kakak pergi lalu Aku?” tanya Hafa yang sedari tadi berada di belakangku
"Bukan Kakak Fa, tapi Kita. Bukankah uang Ibu sudah lebih dari cukup untuk membeli rumah di kota." Imbuhnya.
"Kak..tujuan Ibu mengumpulkan uang itu untuk masa depan Kita, bukan untuk kemewahan." Jawab Hafa dengan cemberut.
Kata-katanya menusuk hatiku. Jiwaku lebur mendengarnya. Adikku yang polos rupanya bisa berkata seperti itu. Namun aku ingin menjadi orang kota yang serba ada, berbeda dengan di kampung, apa-apa serba susah untuk mendapatkan. Harus ke kota dulu untuk mencarinya.
“Setiap detik waktu Ibu adalah pertarungan, Kakak bisa melihat bagaimana pabrik kertas itu bisa berjalan dengan lancar hingga saat ini dan lancar bukan berarti tak punya hutang kan?” lanjut Hafa dengan kalimat apiknya.
Aku sudah terlanjur malas untuk membahasnya lagi. Ibu juga tak akan setuju dengan ideku.
Pembicaraan sore itu tak berlanjut. Aku ingin membahasnya nanti malam saja seusai makam malam. Kutunggu hingga berjam-jam ibu tak kunjung keluar kamar. Mugkinkah ibu sakit hati dengan perkataanku?
“Fa…Kamu nggak makan?” tegurku
“Sudah Kak…,
“Kamu ikut-ikutan marah sama Kakak?
“Dasar Gulen jelek! Hahaha week.” Sambil menjulurkan lidahnya dan lari menuju kamar.
Seperti itulah dia, Hafa kecil yang sekarang beranjak dewasa. Dalam setiap tindakannya selalu dipenuhi keisengan yang kadang membuatku jengkel. Tapi namanya juga anak-anak.
Aku kembali melihat meja makan, kosong. Biasanya jam segini selalu ada piring dan gelas yang berisik untuk perang melawan kita. Kucoba mengetuk pintu kamar Ibu untuk mengajaknya makan malam bersama.
Tok tok tok…“Bu…Ibu sudah makan?”
“Ibu tak selera makan, makanlah sendiri.” Jawaban Ibu dari kamar meremukkan hatiku.
“Bu…maaf, Aku tak bersungguh-sungguh mengatakan itu semua, keluarlah Bu.” Pintaku dengan nada lirih.
Hafa menghampiriku. “Ibu sedang merenungkan perkataan Kakak tadi sore, tadi saja Aku makan sendiri karena sudah lapar, he…he…he….” Kata Hafa setengah bercanda.